Beda Ideologi, Mungkinkah PDIP dan PKS Bersatu di Pilkada Jakarta Usung Anies Baswedan?
Dua partai yang selama ini dikenal berseberangan secara ideologi ini telah memberikan sinyal dukungan kepada Anies.
Penulis: Hasanudin Aco
"Wacana menyatunya entitas Anies dan PDIP di Pilkada Jakarta masih terlalu dini. Belum ada indikasi lanjutan yang lebih kuat yang memungkinkan konsolidasi politik itu terjadi," tandasnya.
Syarat Berkoalisi
Jika PKS dan PDIP berkoalisi mengusung Anies maka dua partai itu telah memenuhi syarat mengusulkan calon gubernur dan wakil gubernur di Jakarta.
PKS adalah pemenang di Pemilu DPRD 2024 lalu dengan 1.012.028 suara (18 kursi DPRD Jakarta) dan PDIP di urutan kedua dengan 850.174 suara (15 kursi DPRD Jakarta).
Syarat mencalonkan pasangan cagub-cawagub di Pilkada Jakarta sesuai Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Pasal 40 UU "Parpol atau koalisi parpol dalam mengusung paslon di pilkada Jakarta harus memperoleh 25 persen suara dari akumulasi perolehan suara sah. Atau memperoleh minimal 20 persen kursi dari total jumlah kursi DPRD DKI Jakarta".
Atau minimal 22 kursi di DPRD Jakarta bisa mengusulkan cagub dan cawagub di Pilkada.
Menemui Kendala di Akar Rumput
Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno memperkirakan para pendukung PDIP berpotensi tidak solid jika mereka mengusung Anies Baswedan pada Pilkada Jakarta 2024.
Menurut Adi, Anies dan PDIP memiliki basis massa pendukung yang berbeda.
Masing-masing simpatisan pun selalu berhadapan dalam setiap kontestasi politik.
“Ini bisa membuat basis pendukung keduanya saling bertabrakan. Karena selama ini basis Anies dan PDI-P saling berhadap-hadapan secara terbuka,” ujar Adi saat dihubungi Kompas.com, Senin (3/6/2024).
Kondisi ini bisa membuat PDI-P ataupun Anies berada dalam posisi yang saling tidak menguntungkan. Sebab, dukungan dari akar rumput tidak akan solid karena ada perbedaan ideologi.
“Alih-alih menyolidkan dukungan, dikhawatirkan justru sebaliknya, jadi tak solid,” jelas Adi.
Akan tetapi Adi tak menampik bahwa situasi yang dikhawatirkan itu justru berbalik 180 derajat.
Pasalnya, pemilih di Indonesia secara umum terbilang cepat melupakan ketegangan politik, dan berputar haluan dalam menentukan pilihan.
“Secara umum pemilih di Indonesia mudah melupakan peristiwa politik yang terjadi. Jangan-jangan pemilih Anies dan pemilih PDI-P sudah saling lupa dengan peristiwa politik 2017 lalu,” kata Adi.