Pakar Sebut Pemohon Uji Materi Agar Pelantikan Presiden Dipercepat Tak Paham Hukum Tata Negara
Pengamat mengkritisi adanya pihak yang mengajukan uji materi UU tentang Pemilu ke MK agar pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih dipercepat.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari mengkritisi adanya pihak yang mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih dipercepat.
Di mana, pemohon meminta agar pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih selambat-lambatnya tiga bulan setelah ditetapkan KPU RI.
"Itu permohonan ndak paham hukum tata negara," kata Feri kepada Tribunnews.com, Kamis (18/7/2024).
Feri menjelaskan, secara tradisi ketatanegaraan pelantikan presiden dan wakil presiden baru selalu jatuh pada 20 Oktober.
Baca juga: Bawaslu Ungkap Ada Empat Pelanggaran dalam Pemilu
"Ketentuan ini adalah tradisi yang selalu jadi kebiasaan ketatanegaraan kita," ujarnya.
Menurutnya, kebiasaan ketatanegaraan adalah juga sumber hukum, tak selalu harus dituliskan.
"Jadi enggak benar juga itu 3 bulan setelah diumumkan KPU dilantik, nanti kebiasaan ketatanegaraannya akan jadi hilang," ungkap Feri.
Adapun, gugatan ini diajukan lima pemohon, yakni Audrey G Tangkudung, Rudi Andries, Desy Natalia Kristanty, Marlon S C Kansil, dan Meity Anita Lingkani.
Pasal 416 ayat (1) berbunyi, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.
Mereka meminta kepada MK untuk menambahkan ketentuan tentang MPR harus segera melantik presiden dan wakil presiden terpilih selambat-lambatnya pada tiga bulan setelah ditetapkan KPU dalam pasal tersebut.
"Majelis Yang Mulia dapat mempertimbangkan hal ini untuk dapat memasukkan atau tambahan daripada Pasal 416 ayat (1) paling tidak selambat-lambatnya tiga bulan dilantik untuk menjadi presiden yang terpilih dan tetap oleh MPR," ucap kuasa hukum para Pemohon, Daniel Edward Tangkau, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 65/PUU-XXII/2024, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Baca juga: Pemilu Ulang Se-Sumatera Barat Imbas Gugatan Irman Gusman Berlangsung Baik
Sementara itu, Pemohon Desy yang turut hadir di ruang sidang menilai, pelantikan presiden dan wakil presiden cukup lama sampai delapan bulan sejak diumumkan terpilih oleh KPU.
Menurutnya, hal ini menimbulkan kekosongan hukum.
"Saat ini, kami meminta kepada MK diterbitkannya norma baru soal percepatan waktu pelantikan," kata Desy.
Berkas permohonan perkara ini terdiri dari dua halaman.
Para Pemohon menjelaskan beberapa alasan yang diajukan, di antaranya mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan global, mempertimbangkan kondisi politik geopolitik global, serta mempertimbangkan kepastian hukum.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar ketentuan dalam Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu tersebut ditambahkan frasa, “apabila calon presiden dan calon wakil presiden terpilih telah memperoleh suara pada pemilu putaran pertama lebih dari 50 persen dan setelah ditetapkan oleh KPU, maka MPR harus segera melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih selambat-lambatnya pada 3 bulan setelah ditetapkan oleh KPU”.
Merespons permohonan ini, Hakim Arief Hidayat mengatakan, permohonan yang diajukan para Pemohon tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga dapat dengan mudah dikatakan permohonan kabur.
Arief menyarankan para Pemohon mempelajari Peraturan MK (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, yang menjelaskan poin-poin yang harus dimuat dalam permohonan. Misalnya seperti identitas Pemohon, kewenangan MK, kedudukan hukum Pemohon, alasan permohonan, serta petitum yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian.
Arief menjelaskan, para Pemohon seharusnya menjelaskan mengenai pertentangan Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sebagai konstitusi.
Kemudian, Para Pemohon juga seharusnya menjabarkan kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan tersebut sejalan dengan alasan mengenai percepatan pelantikan presiden terpilih masuk dalam pasal dimaksud.
Tak hanya itu, para Pemohon juga harus memperhatikan ketentuan lainnya misalnya Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Menurut Arief, ketentuan itu yang menjadi dasar pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih digelar setiap 20 Oktober. Sebab, untuk memenuhi masa jabatan lima tahun.
"Saya tunjukkan substansi kenapa dilantik pada tanggal 20 Oktober karena untuk genap 20 Oktober, kalau enggak genap lima tahun berarti malah permohonan ini yang melanggar konstitusi. Mahkamah kalau memutus seperti keinginan Saudara, Mahkamah yang melanggar konstitusi," kata Arief.
Lebih lanjut, Hakim Konstitusi Arsul Sani mengatakan, para Pemohon dapat memperbaiki permohonan selama 14 hari.