Soroti Fenomena Kotak Kosong di Pilkada 2024, OSO: Hati-hati Calon Tunggal Lebih Bahaya
Eks Ketua DPD RI itu pun meminta para elite politik justru berhati-hati dengan fenomena calon tunggal. Sebab, calon tunggal justru lebih berbahaya
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, BALI - Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO) menanggapi fenomena pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 yang banyak memunculkan kandidat melawan kotak kosong. Baginya, calon tunggal memang sejatinya diatur dalam konstitusi.
"Calon tunggal itu memang ada mekanismenya," kata OSO seusai Munas IV Hanura yang digelar di Hotel Stones, Bali pada Senin (19/8/2024).
Baca juga: Bamsoet Sebut Kotak Kosong Sebuah Fakta Demokrasi dan Perlu Dihormati
Eks Ketua DPD RI itu pun meminta para elite politik justru berhati-hati dengan fenomena calon tunggal. Sebab, calon tunggal justru lebih berbahaya dibandingkan melawan kandidat lain.
"Tapi hati-hati tentang calon tunggal, itu lebih bahaya dari calon tidak tunggal. Kalau calon tunggal tau tau yang menang kotak kosong wah itu yah," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, jumlah calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2024 diprediksi mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Baca juga: PDIP Kritik Pidato Jokowi Tak Sindir Politisasi Hukum Hingga Hak Rakyat Dikebiri Lewat Kotak Kosong
Prediksi itu di antaranya didasarkan pada data peningkatan signifikan calon tunggal peserta Pilkada sejak tahun 2015 sampai 2020.
Anggota Dewan Pembina Perludem sekaligus Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini mencatat sejak 2015 sampai 2020 tercatat terdapat 52 dari 53 Pilkada di berbagai daerah yang dimenangkan calon tunggal.
Dari data tersebut kemenangan calon tunggal melawan kotak kosong mencapai 98,11 persen.
Selain itu, lanjut dia, lebih dari 80% dari total 52 calon tunggal yang memenangkan Pilkada sejak 2015 sampai 2020 tersebut adalah petahana.
Untuk itu, kata dia, KPU perlu melakukan terobosan untuk menjamin hak pilih setiap warga negara dalam Pilkada serentak 2024.
KPU, menurut Titi bisa melakukan terobosan dengan merujuk pada apa yang telah dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) saat menerbitkan Peturan MK nomor 4 tahun 2015.
Dengan aturan tersebut, kata Titi, MK telah memberikan legal standing kepada pemantau pemilu terakreditasi sebagai Pemohon (bila yang menang calon tunggal) atau Pihak Terkait (bila kotak kosong yang menang) apabila Pilkada berlangsung dalam kondisi calon tunggal melawan kotak kosong.
Baca juga: PKB Belum Tarik Dukungan dari Anies, Apresiasi RK Tak Ingin Lawan Kotak Kosong di Pilkada Jakarta
Mestinya, lanjut dia, terobosan MK itu bisa juga diikuti oleh KPU agar pendukung kotak kosong mendapatkan perlakuan yang adil sebagaimana yang didapatkan oleh pendukung calon tunggal.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi daring bertajuk Menggugat Fenomena Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2024 yang digelar The Constitutional Democracy Initiative pada Minggu (4/8/2024).
"Oleh karena itu, saya mengusulkan KPU bisa memberikan fasilitasi dan hak kepada pendukung kolom kosong untuk berkampanye di Pilkada. Jadi KPU juga harus fasilitasi. Kalau KPU fasilitasi calon tunggal untuk berkampanye, mestinya fasilitasi yang sama juga bisa terhadap kolom kosong," kata dia.
"Karena ini kan dilakukan dengan misalnya alat peraga, iklan di media massa, cetak dan elektronik yang didesain, supaya KPU tidak dibilang partisan, serahkan saja kepada kelompok independen yang ditunjuk oleh KPU untuk mendesain materinya," sambung Titi.
Calon Tunggal Dinilai Berbahaya
Anggota Komnas HAM RI periode 2017 sampai 2022 Amriuddin Al Rahab memandang hadirnya calon tunggal dalam Pilkada merupakan gejala otoritarianisme politik.
Menurut Amiruddin hak memilih bagi warga negara adalah hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi.
Begitu partai politik (parpol) atau sekumpulan parpol mengajukan calon tunggal, kata dia, maka dapat dimaknai parpol-parpol itu mengabaikan sekaligus merampas hak warga negara dalam memilih dan dipilih.
Dengan melihat esensi tersebut, menurut dia calon tunggal tidak berguna dalam memperbaiki demokrasi di Indonesia.
"Esensi dari demokrasi adalah terjaminnya hak setiap warga negara memilih dan dipilih. Begitu itu diabaikan atau dirampas oleh orang-orang yang sedang memburu kekuasaan, dengan sendirinya demokrasi tinggal cangkangnya. Isinya sudah hilang. Inilah bahayanya dari calon tunggal ini," kata Amiruddin.
Selain itu, ia juga memandang calon tunggal juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan tanggung jawab politiknya sebagai tempat kepentingan banyak orang diagregat dan diartikulasikan.
Salah satu caranya, kata Amiruddin, dengan memunculkan tokoh yakni sosok yang dianggap mapu membawa gagasan parpol tersebut.
Begitu parpol tidak mampu menciptakan tokoh, menurutnya maka dengan sendirinya parpol tidaklah ada.
Sebaliknya, kata Amiruddin, yang ada hanyalah sekumpulan orang atas nama parpol.
"Jika calon tunggal itu berkembang, sekarang gejalanya sudah muncul, beberapa partai sudah kumpul sana-kumpul sini untuk merancang calon tunggal ini, itu menandakan bahwa napas demokrasi kita akan semakin tercekik," kata Amiruddin.
"Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang meminpin daerah nanti dengan cara otoriter. Kenapa otoriter bisa terjadi? Karena dia menjadi orang satu-satunya di wilayah itu yang memiliki otoritas politik, karena tidak ada kompetitornya," lanjut dia.
Ia juga memandang calon tunggal adalah upaya politik yang tidak dilakukan aktor tunggal melainkan dilakukan banyak aktor.
Dalam ilmu politik, menurut dia, kondisi itu disebut monopoli politik di wilayah lokal atau di suatu daerah baik itu provinsi, kabupaten atau kota oleh orang kuat lokal.
"Nah orang kuat lokal ini biasanya adalah pertahana dalam politik atau orang yang didukung oleh banyak kekuatan politik, untuk menjadi orang kuat di wilayah itu secara baru, untuk menyingkirkan kompetitornya yang lain," kata Amiruddin.