Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PKS Tak Menyesal Batal Usung Anies Baswedan, HNW Ungkap Alasan Alihkan Dukungan kepada RK & Suswono

PKS dianggap tidak konsisten memperjuangkan suara pemilihnya di Pilkada Jakarta. Menyesalkah PKS atas keputusan mereka?

Penulis: Malvyandie Haryadi
zoom-in PKS Tak Menyesal Batal Usung Anies Baswedan, HNW Ungkap Alasan Alihkan Dukungan kepada RK & Suswono
Kolase Tribunnews
Hidayat Nur Wahid (HNW) dan Anies Baswedan. HNW mengaku, pihaknya tak menyesal batal mengusung Anies Baswedan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan PKS tidak mengusung Anies Baswedan di Pilgub Jakarta menuai kritik dari pendukung mantan gubernur DKI tersebut.

PKS dianggap tidak konsisten memperjuangkan suara pemilihnya di Pilkada Jakarta. Menyesalkah PKS atas keputusan mereka?

Wakil Ketua Majelis Syura PKS Hidayat Nur Wahid mengaku, pihaknya tak menyesal batal mengusung Anies Baswedan.

Menurut Hidayat, PKS sebelumnya sudah berupaya optimal untuk mencari rekan koalisi agar memenuhi ambang batas pencalonan gubernur saat mengusung Anies dan Sohibul Iman.

“Kalau PKS ya, kita tidak menyesal, kita sudah mengupayakan maksimal untuk mendukung Pak Anies,” ujar Hidayat di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (3/9/2024).

Ia mengungkapkan, Presiden PKS Ahmad Syaikhu sempat mengajak Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk turut mendukung Anies-Sohibul.

Selain itu, Syaikhu sempat meminta Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk ikut mengusung Anies-Sohibul.

Berita Rekomendasi

Namun, semua upaya itu gagal sehingga akhirnya PKS mengalihkan dukungan pada Ridwan Kamil dan Suswono yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.

“Justru beliau (Syaikhu) mengajak PKB untuk dukung Anies-Sohibul. Bahkan mengajak Gerindra untuk dukung Aman (Anies-Sohibul Iman). Kurang apalagi begitu?” kata dia.

Di sisi lain, Sohibul pun mengaku sudah pernah memberikan masukan pada Anies jika ingin mendirikan partai politik (parpol) baru.

Ia tak kaget jika saat ini Anies berencana membentuk parpol sendiri bersama tim maupun pendukungnya.

“Itu bagian-bagian dari yang kita sempat membicarakan gitu ya, tapi tentu saja kita sangat menghormati apa pun pilihan politik dari Pak Anies,” kata dia.

4 Faktor Penghalang

Pernah diberitakan Tribunnews sebelumnya, orang dekat Anies, Refly Harun menyebut ada empat faktor yang menghalangi Anies maju di Pilgub 2024.

Faktor pertama, menurut Refly, Anies tidak ingin menjadi kader PDI Perjuangan lantaran mantan Gubernur Jakarta itu memiliki daya tawar tersendiri.

"Kalau kita lihat, suara Anies dan suara PDI Perjuangan itu banyakan suara Anies. Karena Anies ikut Pilpres. Punya basis. Sehingga, menurut saya, dia punya posisi tawar yang tidak mungkin dia negosiasikan," kata Refly, kepada Tribunnews, Jumat (30/8/2024).

Faktor kedua, Refly menyoroti, ada beda pandangan di internal PDI Perjuangan, yakni soal pihak yang pro dan kontra jika partai banteng itu mengusung Anies, meskipun yang berposisi kontra pada akhirnya akan tunduk pada keputusan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Faktor ketiga, sekalipun keputusan PDI Perjuangan tergantung Megawati, namun Refly menduga, pertimbangan dari putri Presiden RI Soekarno itu juga dicampuri oleh cawe-cawe Istana, yang mana Jokowi dinilai sebagai figur yang tidak suka dengan sosok Anies Baswedan.

Sehingga, Refly menilai, partai apapun yang hendak mengusung Anies akan dicegah oleh Istana.

Faktor keempat, adanya kemungkinan Megawati berkonsolidasi dengan pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto mendatang.

Prabowo dinilai tidak akan menghendaki konsolidasi dengan Megawati jika ada Anies, yang kata Refly, berpotensi menjadi pesaing Menteri Pertahanan era Jokowi itu.

Merinci soal dugaan cawe-cawe Jokowi dalam hal gagalnya Anies maju Pilgub 2024, Refly menyebutkan ada ancaman yang diarahkan Jokowi kepada Megawati jika tetap mengusung Anies.

Berdasarkan analisisnya, Refly menilai, praktik politik sandera yang dilakukan Jokowi ini serupa dengan sejumlah kasus yang melibatkan beberapa politisi, beberapa waktu belakangan.

Misalnya, terkait perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang melibatkan eks Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto.

Perkara tersebut santer diduga menjadi alasan Airlangga mundur dari kursi jabatan pimpinan Golkar, pada Sabtu (10/8/2024) malam.

Padahal, Musyawarah Nasional (Munas) partai berlambang beringin itu baru akan digelar, pada Desember 2024 mendatang.

Kuat dugaan, bahwa peristiwa hengkangnya Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar merupakan cara Jokowi mengambil alih Golkar.

Begitu juga dengan momen pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, jelang Pilpres 2024 lalu.

"Menurut saya, politik itu tidak bisa kita mengatakan sesuatu exactly (secara tepat). Tetapi ini sudah menjadi rahasia umum, menurut saya. Di mana pemerintahan (Jokowi) ini selalu menggunakan cara-cara untuk menyandera orang. Sebagai contoh yang paling terakhir ya Airlangga Hartarto. Dan kita tahu bahwa Airlangga memang dieksploitasi kasus hukumnya," ucap Refly.

Hal demikian juga diduga terjadi dengan PDI Perjuangan.

Kata Refly, beberapa pemberitaan di media massa memunculkan kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan orang-orang terdekat Megawati.

Sebut saja, kasus dugaan korupsi BTS 4G yang disebut-sebut melibatkan menantu Megawati sekaligus suami Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani, yakni Hapsoro Sukmonohadi.

Kemudian, peristiwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa keponakan Megawati, Riyan Dediano dan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto terkait kasus dugaan korupsi Dirjen Perkeretaapian (DJKA), pada Senin, 26 Agustus 2024 lalu.

Selain itu, Refly juga menduga adanya ancaman dari Jokowi kepada Megawati terkait isu revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), yang mengancam Puan Maharani tak bisa menduduki jabatan Ketua DPR lagi.

"Karena undang-undang MD3 itu under control-nya Jokowi. Oke. Dia bisa bikin Perppu yang sehari jadi yang mengatakan bahwa ketua DPR itu tidak otomatis (terpilih berdasarkan) kursi terbanyak. Tapi harus pemilihan," jelasnya.

Isu-isu hukum tersebut, yang menurut Refly, biasanya bersifat koinsidensi atau kebetulan dengan momen-momen penting politik.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas