Mitos Gerhana Matahari Total Jadi Satu Atraksi Sendiri kata Arief Yahya
Ada suasana mencair saat sesi interview Menpar Arief Yahya dengan Eva Julianti Yunizar dari CNN Indonesia di Gedung Sapta Pesona, Merdeka Barat
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ada suasana mencair saat sesi interview Menpar Arief Yahya dengan Eva Julianti Yunizar dari CNN Indonesia di Gedung Sapta Pesona, Merdeka Barat, Jakarta, Jumat 26 Februari 2016.
Saat dialog memasuki topik keunikan Gerhana Matahari Total (GMT) yang bakal melintasi 12 provinsi di Indonesia, pada 9 Maret 2016 itu. Arief Yahya justru menjawab dari sisi mitologi Jawa, yang pernah diingat dalam GMT 1983 lalu di Jawa.
Arief Yahya tidak sedang meyakini mitos itu. Dia hanya ingin menjelaskan bahwa story line yang berbasis pada cerita rakyat itu justru lama membekas, cepat meluas, dan menjadi bahan perbincangan publik. Cerita rakyat itu bisa menjadi bumbu-bumbunya GMT.
“Kalau di Jawa, itu sedang terjadi pertempuran hebat antara Bethara Kala melawan Bethara Guru. Kepala raksasa Bethara Kala berhasil dipenggal, tetapi dia sudah terlanjur menelan matahari. Karena itu, warga diminta membunyikan lesung dengan alu (penumbuk gabah, red), agar sang surya dimuntahkan kembali,” jelas Arief.
Sepenggal legenda itu pun kontan mengundang gelak tawa. Orang modern yang lebih mempercayai science memang sudah tidak percaya dengan mitologi seperti itu.
Tetapi, justru cerita-cerita seperti itulah yang membuat fenomena alam yang terjadi dalam 350 tahun itu menjadi seru.
“Di pariwisata, kekayaan cerita-cerita seperti itu menjadi salah satu atraksi tersendiri,” jelas pria yang dibesarkan dari kampung di Banyuwangi itu.
Cerita serupa sebenarnya ada di hampir semua daerah. Di Provinsi Bangka Belitung misalnya, ada istilah Rau, performancenya sama, seorang raksasa yang menaruh dendam kepada dewa dan melampiaskannya dalam bentuk memakan matahari dan bulan. Alur mirip-mirip dengan cerita Jawa itu.
Zaman China kuno, peristiwa di mana bulan berada persis di tengah-tengah antara matahari dan bumi itu juga dihubungkan dengan mitos.
Seekor naga raksasa sedang melahap matahari. Kisah itu diyakini orang Tiongkok sejak ribuana tahun yang lalu.
Sama dengan di Jawa, warga di sana menakuti-nakuti sang naga dengan membunyikan suara-suara keras seperti petasan. Bedanya, di Jawa memukul lesung dengan alu.
Konon, dalam mitologi Mesir kuno, yang juga dikenal memiliki peradaban yang sangat kuat, kisahnya juga sama. Kepercayaan mereka, matahari adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan. Ada dewa yang dianggap sebagai penjaga matahari yang dinamakan Ra.
Dewa Ra digambarkan dengan sosok manusia berkepala elang. Ra setiap saat memimpin sebuah perahu yang banyak berisi dewa untuk melintasi langit.
Di India, GMT pernah dirasakan 28 Juli 2009 lalu. Para cenayang India memprediksikan, kekerasan dan kekacauan akan melanda seluruh dunia.
Tahayul itu pun masih banyak dipercaya di sana. Dalam Hindu, dua setan yakni Rahu dan Ketu yang diyakini menelan matahari sehingga terjadinya gerhana.
Wanita-wanita hamil disarankan tetap berada dalam rumah selama gerhana berlangsung untuk menghindari bayi mereka terlahir tak cacat. Doa-doa, puasa dan mandi ritual dianjurkan untuk dilakukan di sungai-sungai suci. Hal ini dilakukan untuk menghindari efek negatif dari gerhana tersebut.
Cerita apa saja dari semua daerah, kata Arief Yahya, itu akan memperkaya kazanah budaya dan tradisi tutur di negeri ini. Tetapi yang lebih penting dari itu semua, silakan menyaksikan GMT di 12 provinsi yang sudah menyiapkan 100 events bersama Kementerian Pariwisata.
Silakan ke Mentawai Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
“Jika hotel sudah habis, silakan menyewa homestay atau ikut di kapalnya Pelni yang akan menonton GMT dari laut,” tutur Arief Yahya.