Masuki Tahun Politik 2018, Waspadai Sentimen SARA kata Ahmad Syafii
Bagi bangsa Indonesia, tahun 2018 ini diproyeksikan sebagai tahun politik. Hal ini seiring dengan degelarnya 171 Pilkada yang terdiri dari 17 provinsi
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bagi bangsa Indonesia, tahun 2018 ini diproyeksikan sebagai tahun politik. Hal ini seiring dengan degelarnya 171 Pilkada yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Potensi pemanfaatan identitas primordial dan kultural dikhwatirkan dapat menimbulkan anarkisme sosial.
Tak hanya itu, isu hoaks yang diwujudkan melalui narasi radikalisme di dunia maya, eksploitasi agama dalam kepentingan politik telah menggiring terciptanya sentimen SARA yang berujung terhadap kebencian, kekerasan dan bahkan radikalisme terorisme berpotensi memecah belah persatuan bangsa.
Untuk itu seluruh elemen masyarakat diminta untuk tetap waspada terhadap isu-isu yang dapat memecah persatuan dan harus dapat menjaga keharmonisan dan kerukunan antar seluruh umat di Tanah Air agar persatuan bangsa dapat terjaga dengan baik,
“Tentunya juga perlu peran dari para tokoh agama dan tokoh masyarakat pemuka agama untuk menyampaikan kepada masyarakat agar tidak mudah terpancing dalam situasi politik 2018 nanti. Tak hanya itu, kalangan legislatif dan eksekutif juga harus bisa turut serta menjaga keharmonisan ini. Itu sangat perlu sekali dan harus, karena di tahun 2018-dan 2019 nanti semua harus seperti itu,” ujar Direktur Indonesia Institute for Society Empowerment, Prof. Dr. Ahmad Syafii Mufid, MA, Kamis (4/1/2018)
Pria yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta ini menilai bahwa di tahun 2016-2017 lalu memang ada pemicunya sehingga gerakan untuk saling membenci yang akibatnya jika ada kebencian maka berakibat melahirkan kebencian lagi di masyarakat.
“Jadi untuk tahun 2018 seharusnya disadarari oleh masyarakat bahwa ujaran kebencian yang dilakukan baik kebencian dengan ,menggunakan isu SARA atau bukan itu harus ditnggalkan, karena itu dapat menimbulkan perpecahan diantara kita,” ujar Ketua Komisi Litbang Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, cara untuk meninggalkan ujaran-ujaran kebencian itu masyarakat kita sekarang ini harus diwacanakan mengenai bagaimana hendaknya membangun kesejahteraan dan menegakkan keadilan untuk semua. Sehingga nantinya masyarakat harus dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan untuk semua yakni berbangsa dan bernegara..
“Maka nanti kalau ada orang atau kelompok baik kelompok biasa atau elite kemudian mereka mengucapkan ucapan-ucapan yang cenderung kepada kebencian itu akan menjadi hina. Hal ini dikarenakan iklim pada tahun 2018 tidak lagi memainkan isu-isu premodial, tapi yang dimainkan adalah isu-isu keadilan dan kesejahteraan,” katanya.
Untuk itu menurutnya perlu adanya kebijakan atau aturan hukum yang ketat agar kelompok-kelompok yang ingin membuat suasana menjadi ‘panas’ tidak melakukan upaya-upaya yang dapat memperkeruh keharmonisan masyarakat yang sudah terjaga Dirinya melihat bahwa perkembangan politik Indonesia yang diamatinya sejak jaman orde lama, orde baru dan orde reformasi ini setiap tekanan itu akan melahirkan pantulan. Hal tersebut terjadi karena adanya aturan-aturan yang telah ditetapkan di negara ini
“Tetapi setiap atau tanpa ada koridor yang mengatur atau yang menghalangi itu nanti juga tidak bagus. Itu akan melahirkan yang sekarang disebut demokrasi yang kebablasan yang tanpa batas. Ini sebenarnya tidak sesuai dengan kultur, budaya dan ideologi bangsa kita yakni Pancasila,” ujar lulusan Pascasarjana Antropologi dari Universitas Indonesia ini.
Oleh karena itu dalam menghadapi kondisi 2018 menurutnya yang harus diperbanyak itu bukan aturan-aturan yang mengekang atau tanpa aturan, Tapi seluruh masyarakat harus dapat membangun dengan pranata-paranata yang baru.
“Karena dengan hukum dan peraturan yang ada sering kali ditafsirkan macam-macam seperti dalam media itu perdebatan yang tidak pernah selesai karena berputar pada masalah itu-itu saja,” katanya.
Untuk itu dirinya juga menyarankan agar sebaiknya para elit elit politik ini saling bertemu dan berbicara. Demikian pula kalau misalnya ada acara dialog di televisi itu dirinya menghimbau kepada para presenter atau moderator untuk tidak saling mengadu, tatapi meminta kepada para elit-elit ini untuk dapat memecahkan solosi dalam masalah itu atau apa solusi yang diambil terhadap masalah tersebut.
“Sehingga masyarakat kita akan diberikan pelajaran bahwa sesungguhnya elit politik ada yang tipenya provokator atau ada elit yang tipenya memberikan solusi dan inovasi. Sehingga masyarakat dapat menilai. Karena kalau saya perhatiak nselama ini semuanya mau benar sendiri tanpa ada dialog, tanpa ada mana yang substansial dan mana yang sebenarnya hanya basa-basi saja,” kata peraih Doktoral dari International Institute for Asian Studies (IIAS), Universitas Laiden, Belanda ini
Kemudian untuk mencegah agar masalah agama ini jangan dibawa ke ranah politik pria yang juga Peneliti Senior di Badan Litbang dan Diklat, Kemenag ini melihat bahwa sesungguhnya orang-orang yang memiliki kepentingan kelompok dari masing-masing agama untuk tidak lagi memperkeruh suasana.
Karena selama ini kedua belah pihak baik yang agamawan dan anti agama itu sama-sama melakukan hal-hal yang memprihatinkan.
“Kepada semua kelompok kelompok agama dan juga kelompok kelompok anti agama jangan memanas-manasi. Coba perhatikan itu yang melempar isu-isu kebencian-kebencian. Persoalannya biasanya yang kelompok agama ini berani mati. Kalau yang anti agama ini tidak berani mati. Itu dia masalahnya dan harus diwaspadai,” ujarnya.
Pria yang juga turut serta dalam melakukan program deradikalisasi bersama BNPT ini juga berharap peran serta dari mantan-mantan kombatan untuk turut memberikan syiar kepada kelompoknya terdahulu dan masyarakat pada umumnya agar jangan mudah terprovokasi jika ada kelompok-kelompok yang menghebuskan masalah agama dalam pesta politik nantinya.
“Saya lihat teman-teman para mantan kombatan ini banyak yang bisa dilibatkan. Di tahun 2018 dan 2019 nanti semua harus seperti itu.Kalangan-kalangan LSM-LSM yang liberal juga harus diajak dan diundang. Ini jangan dibiarkan. Karena dari mulut-muut mereka inilah biasanya lebih didengar oleh kelompoknya. Untuk itu mari kita jaga tahun 2018 ini sebagai tahun yang damai anti kekerasan dan anti radikalisme,” paparnya.