Sastro: Budaya, Tradisi dan Seni itu Menjadi Alat untuk Menyampaikan Ajaran-ajaran Agama
Agama dan budaya yang ada di Indonesia jika dilihat dari konteks Islam yang berkembang dan hidup di nusantara ini telah menjadi hubungan simbiosis.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Agama dan budaya yang ada di Indonesia jika dilihat dari konteks Islam yang berkembang dan hidup di nusantara ini telah menjadi hubungan simbiosis.
Dimana agama itu sendiri butuh alat ataupun metode untuk disampaikan kepada masyarakat. Agar orang paham terhadap agama maka dibutuhkan metode ataupun alat supaya agama itu bisa dipahami orang.
“Dalam konteks ke-nusantaraan yang ada di Indonesia, budaya, tradisi dan seni itu menjadi alat untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama,” ujar Budayawan, Dr.Ngatawi Al-Zastrow atau yang biasa disapa Sastro, Jumat (13/4/2018).
Dijelaskannya, beberapa hal yang perlu dicatat mengapa di nusantara ini agama dan budaya atau budaya dan tradisi menjadi alat atau metode dalam penyampaian agama.
“Pertama, supaya agama lebih mudah dipahami. Karena kalau pesan-pesan agama disampaikan dengan cara-cara Timur Tengah tentunya akan ada kesenjangan budaya. Sehingga akan kesulitan untuk memahami dan menerima pesan-pesan agama itu kalau metode Arab itu yang dipakai,” jelasnya.
Oleh karena itu sejak jaman Walisongo digunakanlah metode atau tradisi nilai-nilai kultur orang lokal nusantara ini sebagai alat untuk menyampaikan. Dan itu terbukti ampuh, sehingga dalam waktu kurang dari 50 tahun, Walisongo mampu meng-Islamkan masyarakat nusantara dari yang semula 90% Hindu-Budha berbalik menjadi 90% Islam.
“Padahal selama 8 abad Islam sendiri tidak berkembang di bumi Nusantara ini. Kalau data sejarah menunjukkan abad ke-8 Sebelum Masehi (SM), Islam sudah masuk di bumi nusantara Indonesia ini melalui berbagai pintu, baik dari pintu Aceh, pintu Jawa dan pintu macam-macam,” katanya.
Tapi pada kenyataaanya Islam sendiri baru berkembang pada abad ke-15 di jaman Majapahit yang artinya ada masa kevakuman dari abad ke-8 sampai abad 15 SM yang mana Islam di nusantara ini belum bisa diterima oleh bangsa Nusantara. Kevakuman itulah yang kemudian dikoreksi oleh para wali dan ternyata ada kesalahan dalam menyampaikan pesan.
“Akhirnya disampaikan dengan bahasa, cara, budaya, tradisi yang berkembang di masyarakat, baru Islam itu bisa masuk. Dengan cara yang disampaikan para Wali itulah akhirnya melahirkan tembang, gending, syair, babat, serat, sastra dan sebagainya itu. Sehingga dengan kebudayaan ini lebih mudah diterima,” urai mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU ini
Lalu yang kedua digunakannya kebudayaan sebagai metode atau alat dalam menyampaikan ajaran Islam dikarenakan dengan kebudayaan ini wajah Islam menjadi menyenangkan dan kompatibel dengan tradisi lokal yang berkembang di masyarakat.
“Sebab ada kesenjangan budaya kesannya kalau kita langsung pakai cara-cara metode Arab itu orang menjadi defence culture. Kesenjangan kultural ini lah yang menyebabkan akhirnya ada defence culture. Nah untuk mengatasi adanya defence culture itu maka inilah kebudayaan yang menjadi Wasilah,” ujar mantan asisten pribadi Presiden RI ke-4, Alm. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
Dengan cara-cara inilah menurutnya Islam ini menjadi lebih kreatif. Meski ajaranya tidak diubah, tetapi ekspresinya menjadi lebih bisa beragam dan menunjukkan islam itu kebenarannya akan tetap abadi di setiuap tempat dan waktu.
“Karena budaya-budaya yang ada di masing-masing tempat itu bisa menerima dengan baik dan bisa ekspresikan Islam dengan gayanya masing-masing dari segi kultural tanpa harus merubah ajaran-ajaran yang sudah baku. Inilah yang perlu dipahami masyarakat pemeluk agama Islam,” ujarnya.
Menurutnya, dengan Islam yang seperti ini maka orang menjadi tidak mudah marah. Karena kalau Islam ini sedikit sedikit marah, ditunjukkan dengan emosi ataupun kemarahan-kemarahan, akhirnya orang menjadi berfikir mengapa.