Takdirkah Jika Sejak Lahir Jakarta Selalu Akrab dengan Banjir Kiriman? Simak Faktanya Dari Zaman VOC
Jakarta lagi-lagi 'diselimuti' banjir yang memang hadir bak pencuri, datang sewaktu-waktu tanpa permisi.Takdirkah ini?
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banjir Jakarta, kembali menghiasi pemberitaan sejumlah media sejak kemarin.
Ya, sejumlah wilayah di DKI Jakarta kembali terendam banjir dengan ketinggian bervariasi pada Jumat (26/4/2019) akibat meluapnya Kali Ciliwung.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta menyatakan bahwa pada per pukul 12.00 WIB Banjir Jakarta tersebar di 32 titik.
Wilayah yang terendam di Jakarta Selatan antara lain Kelurahan Pengadegan RW 001, 002, dan 011. Kemudian Kelurahan Rawajati RW 001, 003, dan 007; Kelurahan Cikomo RW 001; dan Kelurahan Kebon Baru RW 010.
Sementara di Jakarta Timur, wilayah tang tergenang banjir antara lain RW 001, 002, 003, 005, 008, 012 Kelurahan Cawang; RW 001, 002, 004, dan 005 Kelurahan Balekambang; RW 005, 006, 007, 015, 016 Kelurahan Cililitan; RW 004 sampai RW 008 Kelurahan Kampung Melayu; dan RW 006, 007, 011, dan 014 Kelurahan Bidara Cina.
Akibat dari banyaknya titik banjir tersebut, menurut BPBD DKI Jakarta, dua orang meninggal dunia. Satu orang karena serangan jantung, sementara satu orang lagi meninggal karena terseret arus.
Dampak lainnya dalah sampah yang menggunung setara 17 mobil Toyota Avanza dan lalu lintas yang lumpuh total di banyak titik.
Ya, Jakarta lagi-lagi 'diselimuti' banjir yang memang hadir bak pencuri, datang sewaktu-waktu tanpa permisi.
Baca: Dari Ribuan Korban Banjir di Kramat Jati Jakarta Timur, Hanya 307 Warga yang Mengungsi
'Pencuri' yang sebenarnya kedatangannya seolah hanya tinggal menunggu waktu. Toh, sejak lahir pun Jakarta memang sudah bergelut dengan banjir seperti diuraikan berikut ini.
Sudah sedari dulu Jakarta memang pelanggan banjir.
Mungkin sudah takdir, sejak sebelum bernama Jakarta pada musim hujan selalu disibukkan oleh masalah air.
Pada masa paling awal, menurut catatan sejarah, semasa Kerajaan Tarumanegara, Prasasti Tugu menyuratkan adanya banjir dan penanggulangannya pada abad kelima Masehi.
Baca: Banjir Terjang Jakarta, Tagar AniesDimana Sempat Merajai Trending Topic
Lalu, zamannya VOC, penataan kota yang dibikin mirip kota-kota di Belanda membangun Batavia yang dirajang oleh kanal-kanal, beberapa di antaranya masih ada sampai sekarang.
Maksudnya antara lain untuk mencegah ancaman banjir atau genangan.
Kalau misalnya warga ibu kota yang jumlahnya sekitar 8,2 juta jiwa itu setiap tahunnya selalu saja ada yang sedih, mengeluh, mengumpat.
Tentu saja karena rumahnya ketemuan air banjir, jalanan tergenang air, dan bikin macet lalu-lintas ya jadinya “wajar-wajar” saja.
Kok sampai sekarang Jakarta masih saja diwarnai berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh namanya genangan, banjir, atau apa pun istilahnya?
Dulu, yang namanya Jakarta, semasa masih berjuluk Batavia, hanya meliputi wilayah di dekat muara Kali Ciliwung.
Tapi sekarang, seiring dengan perluasan wilayah kota – ke Barat, Timur, dan Selatan – dan perkembangan jumlah penghuni dan penduduk dari segala pelosok tanah air, luas Jakarta sudah membengkak jadi berapa kilometer persegi?
Berapa pula jadinya jumlah sungai yang masuk menjadi bagian dari kawasannya?
Menurut catatan yang ada, kali besar dan kecil yang memotong wilayah ibu kota yang luasnya 637,33 km2 itu sekarang ada 13 buah.
Kecuali K. Sekretaris dan K. Cideng, semuanya berhulu di dataran tinggi di Provinsi Jawa Barat, macam K. Mookevart, K. Angke, K. Pesanggrahan, K. Grogol, K. Krukut, K. Ciliwung, K. Cipinang, K. Sunter, K. Buaran, dan K. Cakung.
Wajar ‘kan kalau Jakarta lalu menjadi rawan oleh ancaman banjir? Keniscayaan itu baru dari sisi banyaknya sungai dan anak-anaknya.
Belum lagi mengingat kenyataan bahwa topografi kawasan Jakarta memang menempati wilayah yang ceper, rata, atau berupa dataran rendah.
Apalagi 40 persen wilayah di DKI Jakarta ketinggian lokasinya memang berada di bawah atau sama dengan permukaan air laut.
Ciri alami Kota Jakarta dengan banyaknya sungai yang mengalir, topografi yang berupa dataran rendah dan kawasan pantai dengan pasang surut air lautnya, ditambah lagi curah hujan yang tinggi (1.750 – 2.500 mm per tahun) itu, memang sudah dari sononye, orang Betawi bilang.
Itu semua menyodorkan potensi kerawanan banjir di sejumlah lokasi. Kawasan yang sudah rawan banjir itu lalu diperbesar lagi kerawanannya oleh ulah manusia penghuninya.
Sejalan dengan gerak cepatnya kemajuan di segala sisi kehidupan, masyarakat Kota Jakarta membutuhkan lahan.
Entah itu untuk perkantoran, permukiman, pembangunan prasarana jalan dan sebagainya, yang semuanya merupakan suatu bentuk pelapisan dengan sesuatu bahan yang sifatnya tidak tembus air hujan.
Itu semua menyebabkan berkurangnya fungsi tanah sebagai resapan air atau daerah imbuh air (recharge area).
Artinya, setiap hujan yang jatuh di kawasan itu (biasa disebut hujan lokal) sebagian besar tidak meresap ke dalam tanah, tetapi mengalir sebagai limpasan (runoff), dan akan mengisi dan memperbesar debit saluran atau aliran sungai.
Belum lagi adanya bangunan atau gubuk liar di bantaran yang menjorok ke sungai, akan mengurangi kapasitas sungai.
Namun, dalam perjalanannya sebelum masuk ke saluran drainase, sungai-sungai, dan akhirnya masuk ke laut, limpasan itu akan menggenangi jalan-jalan lebih dulu.
Kalau alirannya lancar, tidak terlalu menjadi soal. Kalau terhambat lumpur atau kotoran lainnya sebelum masuk saluran di tepi jalan, genangan akan lama surutnya.
Akibatnya, jalanan jadi macet, apalagi kalau air genangan sudah mencapai 20 – 40 cm dalamnya. Kalau sudah begini, para tukang dorong kendaraan bermotor pun ketiban rezeki.
(Majalah Intisari/Ade)