Hasil Riset Ini Tunjukkan Sebagian Besar Warga DKI Dukung Pembatasan Skuter Listrik
Satu di antara faktor yang menyebabkan penolakan ini terkait ketertiban. 81,7 persen responden menganggap penggunaan skuter listrik tidak tertib
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kehadiran regulasi pembatasan skuter listrik didukung oleh 81,8 persen masyarakat DKI Jakarta.
Ini disampaikan Rumayya Batubara, Ketua Tim Peneliti Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) dalam diskusi “Quo Vadis Aturan Skuter Listrik” di Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Bukan hanya mengganggu pengendara kendaraan bermotor resmi, pejalan kaki juga semakin resah dengan bertambahnya kendaraan bermotor kategori kecepatan rendah itu di jalanan umum.
“Masyarakat melihat masih ada manfaat dari skuter listrik. Oleh karenanya mereka mendukung segera terbitnya peraturan skuter listrik. Ini penting untuk menjaga keamanan dan keselamatan pengguna skuter dan pengguna jalan lain, untuk alat angkut pribadi,” ujar Rumayya.
Berdasar hasil riset yang berjudul “Persepsi Masyarakat di DKI Jakarta tentang Penggunaan Skuter Listrik di Jalan Raya dan Trotoar”, sebagian besar masyarakat DKI menolak penggunaan skuter listrik.
Riset menyebutkan hanya 24,6% yang mendukung penggunaan alat angkut jenis ini, sisanya menolak.
Satu di antara faktor yang menyebabkan penolakan ini terkait ketertiban. Selain itu, 81,7 persen responden menganggap penggunaan skuter listrik tidak tertib.
Hal ini senada dengan rencana Kementerian Perhubungan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengeluarkan peraturan terkait skuter listrik dalam waktu dekat dalam rangka menertibkan penggunaan skuter serta memastikan prinsip keamanan dan keselamatan menjadi prioritas dalam penggunaan serta penyewaan skuter listrik.
Dia menambahkan, berdasarkan motif atau tujuannya, sebesar 65,2% harapan responden menyatakan penggunaan skuter listrik sebagai sarana rekreasi atau bermain saja.
Sebesar 34,8% lainnya dimanfaatkan sebagai sarana alternatif untuk menuju kantor dan pusat perbelanjaan.
Sebanyak 65,2% masyarakat DKI Jakarta juga mengungkapkan penggunaan skuter listrik disalahgunakan di lokasi yang tidak semestinya antara lain jalan raya, trotoar pejalan kaki, dan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).
Kehadiran skuter listrik juga menuai tantangan karena merupakan kendaraan bermesin sehingga bisa membahayakan pejalan kaki. Sebanyak 67,5% pejalan kaki di trotoar merasa terganggu dan terancam akibat faktor keamanan dan perilaku pengguna skuter listrik.
Penelitian yang melibatkan 1.000 pengguna jalan di DKI Jakarta ini diselenggarakan pada bulan November 2019, dengan menggunakan survei secara online, menggunakan metode purposive sampling dan analisa deskriptif. Penelitian ini memiliki margin of error di bawah 3%.
Sementara, Executive Director Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, menilai layanan skuter listrik merupakan produk sebuah platform transportasi online yang dalam jangka panjang bertujuan mencari keuntungan.
“Industri seperti ini tujuannya bukan untuk membantu mobilitas masyarakat, tetapi memanfaatkan kebutuhan rekreasi masyarakat untuk mendapatkan keuntungan. Apakah skuter listrik bisa memenuhi kebutuhan mobilitas tanpa ada yang dirugikan? Kalau tidak bisa, jadi tidak relevan lagi dalam urusan membantu mobilitas masyarakat,” kata Elisa.
Karena itu, Elisa mengusulkan agar pemanfaatan skuter listrik hanya dibatasi di daerah tertentu. Seperti misalnya terbatas di objek wisata, di dalam kawasan kampus, dan lain sebagainya.
“Di kampus Ohio State University, skuter listrik membantu mahasiswanya bergerak di area kampus yang luas. Atau bisa juga digunakan di tempat wisata, tetapi tentunya dengan menerapkan standar keamanan yang tinggi,” jelasnya.
Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta menurut Elisa lebih baik meningkatkan konektivitas moda angkutan umum di ibu kota saja, ketimbang harus repot mengawasi penggunaan skuter listrik di jalan raya atau tempat umum lain yang membahayakan masyarakat.
“Setahu saya kebanyakan tempat penyewaan skuter listrik itu di kawasan yang sudah banyak sekali layanan transportasi publiknya. Seperti di kawasan Jenderal Sudirman ada Transjakarta, ada MRT. Jadi benar-benar tidak relevan untuk membantu mobilitas. Karena dengan transportasi umum yang ada saat ini, tinggal jalan kaki 3-5 menit saja ke tujuan sudah bisa,” tegas Elisa.
Sorotan YLKI
Pembatasan dan pengendalian penggunaan skuter listrik juga menjadi sorotan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pasca jatuhnya korban jiwa akibat penggunaan kendaraan kecil tersebut di DKI Jakarta.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, menyampaikan catatan terkait penggunaan skuter listrik yang sudah memakan korban jiwa.
YLKI mendesak kepada Pemprov DKI Jakarta bahkan Kemenhub untuk segera mengatur secara ketat keberadaan skuter listrik sebelum meluas menjadi masalah/wabah baru.
YLKI mendukung Dishub DKI Jakarta yang akan mengatur hal ini agar secara cepat disahkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Poin-poin krusial yang perlu diatur, antara lain; perizinan yang ketat, pentarifan, dan juga jaminan asuransi.
“Intinya keberadaan skuter listrik harus dikendalikan dengan kuat,” Tulus menegaskan.
YLKI meminta dan mendesak para pihak yang menyewakan skuter listrik untuk memastikan dan menjamin bahwa pengguna skuter tersebut telah paham hal ihwal terkait rambu-rambu lalu lintas dan aspek yang lebih detail, terutama dari sisi keselamatan.
“Mengingat dari sisi infrastruktur belum memberikan dukungan yang memadai untuk jalur skuter,” paparnya.
Tulus membandingkan betapa pentingnya edukasi berkendara di jalan raya. Sebagai contoh, 40 persen pengguna sepeda di Belanda telah mendapatkan edukasi sejak dini terkait aspek keselamatan dalam berlalu lintas menggunakan sepeda.
Banyak Negara Melarang di Jalan Raya
Data Forbes dan Statista berdasarkan riset University of California, Los Angeles yang diterbitkan dalam jurnal medis JAMA Network Open mengungkapkan potensi cidera fatal akibat penggunaan skuter listrik.
Terlebih lagi bila digunakan saat lalu lintas padat. Seperti dikutip dari Forbes.com, studi di Amerika Serikat (AS) pada rentang 1 September 2017 sampai 31 Agustus 2018 mengungkapkan temuan di mana 249 orang terlibat dalam kecelakaan skuter listrik.
Komposisinya sekitar 40% dari cidera itu adalah patah tulang. Kemudian kasus menderita trauma kepala sebesar 31,7%. Sementara sebesar 27,7% korban menderita luka, terkilir, dan memar. Penelitian juga menemukan bahwa hanya 4,4 persen pengguna skuter listrik yang menggunakan helm. Kecelakaan yang paling umum dicatat adalah jatuh, tabrakan dengan objek lain, dan pengendara tertabrak kendaraan atau benda lain yang bergerak.
Sementara itu di Paris, skuter listrik dilarang untuk berada di trotoar pejalan kaki. Jika dilanggar akan dikenakan denda sebesar Euro 135. Pada saat yang sama, di jalan raya pun skuter listrik dilarang karena berbahaya dan bukan termasuk jenis kendaraan pada umumnya.
Di Singapura terdapat rata-rata 370 insiden skuter listrik setiap bulannya, sehingga tuntutan untuk memperketat regulasi skuter listrik di negara tersebut semakin menguat. Mulai Januari 2020 pengguna skuter listrik di trotoar dan jalan raya akan didenda S$2,000 atau dipenjara selama tiga bulan.
Di London, meski skuter listrik dijual bebas, trotoar juga terlarang untuk skuter listrik. Satu-satunya tempat yang bisa dikendarai skuter listrik adalah di tanah pribadi dengan izin dari pemilik tanah. Pengguna skuter listrik di Inggris dihadapkan dengan denda sebesar 300,6 poundsterling jika melanggar peraturan tersebut. (*)