Mengatasi Ideologi Selain Pancasila Perlu Pendekatan Sesuai dengan Tingkatannya kata Alissa Wahid
Munculnya fenomena diskontinuitas generasi saat ini terhadap nilai dan norma tentang masa lalu harus disikapi secara serius.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Munculnya fenomena diskontinuitas generasi saat ini terhadap nilai dan norma tentang masa lalu harus disikapi secara serius.
Apalagi jika hal tersebut kemudian dapat menyebabkan lunturnya nilai Pancasila sebagai falsafah bangsa. Karena itu penguatan wawasan kebangsaan dan pengamalan dalam masyarakat menjadi penting dalam rangka menguatkan ideologi bangsa untuk menangkal ideologi radikalisme dan terorisme.
“Ini kesalahan kita, dulu pada masa orde baru penanaman wawasan kebangsaan itu lebih kepada hafalan untuk mengingat. Tetapi sekarang dengan adanya media sosial (medsos), penanaman wawasan kebangsaan harus disertai contoh di kehidupan sehari-hari, tanpa contoh itu akan menimbulkan kegamangan di kalangan masyarakat. Hal inilah kemudian membuat anak-anak muda mudah menyerap ideologi-ideologi lain dari medsos,” ungkap Sekretaris Jenderal Suluh Kebangsaan, Alissa Wahid, Jumat (29/11/2019).
Dikatakan Alissa, untuk mengatasi ideologi selain Pancasila perlu pendekatan sesuai dengan tingkatannya.
Pertama, terorisme ini sudah pasti masuk ekstrimisme dengan kekerasan, itu jelas sangat membahayakan. Kedua esktrimisme tanpa kekerasan yang bertujuan mengubah ideologi negara.
Yang ketiga ekslusifitas agama dan ultra-konservatifisme yang bisa membahayakan demokrasi meskipun tidak menggunakan cara-cara kekerasan.
“Untuk mengatasi ketiga hal ini diperlukan treatment yang berbeda sesuai dengan kondisinya,” tutur putri pertama Presiden RI ke-4 alm. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
Sebenarnya, ungkap Alissa, paham ini bukan hal baru atau berasal dari luar tetapi kemudian menjadi muncul dan berbahaya karena interpretasi agamanya yang sempit.
“Contoh seperti al wala wal bara’, itu tidak boleh berteman dengan yang berbeda padahal negara kita ini penuh keberagaman. Hal-hal seperti ini yang saat ini diarus-utamakan atau didorong oleh beberapa kelompok keagamaan tertentu hingga menimbulkan perpecahan. Sedangkan wawasan kebangsaan kita justru tidak kita dorong,” ucap peraih gelar Master bidang Psikologi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu.
Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan sebagai warga negara dan juga sebagai umat beragama. Seperti di NU, mengenal trilogi ukhuwah, bahwa sebagai umat Islam harus berperilaku sehari-hari dengan tiga ukhuwah yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basariyah.
Intinya beragama tetapi dengan tetap menjunjung keberagaman. Karena yang dihadapi saat ini adalah pemuka agama yang menggunakan agama untuk mengikis rasa kebangsaan maka kemudian yang perlu diajak kerjasama pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat.
Wanita yang juga rajin mempromosikan dialog dan pemahaman antaragama, kewarganegaraan aktif, demokrasi dan hak asasi manusia ini berpendapat bahwa penting untuk turut serta melibatkan berbagai pihak untuk mengatasi hal ini.
Menurutnya ada tujuh kelompok strategis yang penting untuk dilibatkan. Satu yaitu birokasi, kedua TNI-Polri, ketiga media massa, keempat ekosistem pendidikan, kelima masyarakat sipil termasuk di dalamnya organisasi berbasis agama, keenam sektor private dan para pelaku bisnis, ketujuh adalah Partai Politik (Parpol).
Khusus parpol ini penting karena dalam pemilihan langsung terhadap posisi-posisi di pemerintahan baik pusat dan daerah, sentimen agama ini berbahaya jika kemudian dipakai dalam kontestasi politik.