Cerita PSK di Depok Saat Pandemi Covid-19 Jalankan Bisnis Prostitusi dari Bilik Kamar Kos
Tak sampai 30 menit, pelanggannya datang ke kontrakan berwarna hijau kusam tempat Leida bisa memberikan layanan cinta sekejap.
Editor: Hasanudin Aco
Di tengah pandemi Covid-19 bisnis prostitusi tetap menggeliat di Kota Depok Jawa Barat. Namun kali ini dijalankan dari bilik kamar kos orang per orang.
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dwi Putra Kesuma
TRIBUNNEWS.COM, DEPOK – Deru kendaraan dari jalan di kawasan Grogol, Limo, Kota Depok, terdengar sampai kontrakan dua kamar yang ditempati Leida, bukan nama sebenarnya.
Lokasinya nyempil, terhimpit tembok tetangga kanan kirinya. Hanya satu motor yang bisa masuk untuk menuju kontrakan Leida di paling pojok.
Sampai pukul 18.00 WIB, gadis berambut sebahu, berkulit coklat, berwajah tirus, setinggi kurang lebih 165 sentimeter itu, tak berpaling dari layar ponselnya.
Rambutnya yang masih basah, sesekali ia renggangkan agar lekas kering. Bukan dengan hairdryer, tapi jari jemari tangan kirinya.
Baca juga: PSK di Depok Patungan Sewa Kosan-kosan untuk Terima Tamu, Sehari 1 PSK Bisa Layani 5 Lelaki
Seketika pupil mata Leida membesar, ditingkahi senyumnya mengembang, melihat pesan masuk di ponselnya dari orang yang ditunggu-tunggu tanpa sebelumnya bertemu.
Bergegas ia berbenah merapikan penampilan, menjangkau parfum dari kamar lalu menyemprotkannya sekali dua kali ke tubuhnya yang tinggi semampai.
Ia sudah membayangkan akan mendapat bayaran Rp 300 ribu untuk sekali kencan, setelah proses tawar menawar dengan pria itu deal.
"Di depan ada gang, masuk saja lurus terus sampai mentok. Nah, kontrakannya yang paling pojok," kata Leida memandu tamunya seorang pria asing lewat ponsel agar tak tersesat.
Tak sampai 30 menit, pelanggannya datang ke kontrakan berwarna hijau kusam tempat Leida bisa memberikan layanan cinta sekejap.
Di kontrakan itu, Leida tinggal bersama dua teman wanitanya yang juga menjajakan layanan prostitusi berbasis aplikasi pertemanan.
"Baru setahun, diajak teman sih awalnya," cerita Leida kepada TribunJakarta.com pada Senin (15/2/2021) malam.
Jarak jalan utama ke kontrakan Leida berkisar 15 meter. Akses masuknya sangat sempit, cukup muat dilintasi satu unit motor untuk masuk keluar.
"Langsung masuk (kamar) saja mas, nyantai. Sudah biasa kok," sapa hangat salah satu teman Leida.
Leida yang sedari tadi menunggu tamunya kembali berseri-seri. Ia tak sungkan menggenggam tangan pelanggan dan menuntunnya masuk ke kamar.
Kamar Leida dan dua temannya memberikan layanan persetubuhan kurang lebih 4x4 meter.
Ada dua kasur lipat, bantal dan guling di sana.
Sekilas sedikit berantakan. Sejumlah alat rias, beberapa bungkus makanan dan remah-remahnya, berserakan di sudut lantai.
Sebuah kipas angin berukuran kecil, tak mampu menghilangkan hawa panas dari dalam ruangan tersebut.
Leida, seperti teman-temannya yang lain, punya sejumlah peraturan yang wajib ditaati pelanggan. Bisa dibilang ada protokolnya.
"Satu kali main ya, maksimal satu jam lah," kata Leida mengingatkan aturan main kepada pelanggannya.
Sementara Leida menservis pelanggannya, dua wanita temannya menunggu di lorong.
Mereka juga menunggu pesan masuk dari tamu yang ingin mendapat layanan mereka.
Waktu satu jam berlalu cepat. Dari luar sudah terdengar ketukan pintu, tanda agar Leida dan pelanggannya segera berbenah. Karena kamar akan dipakai temannya yang baru dapat tamu.
"Buruan, pelanggan gue sudah datang nih. Jangan lama-lama," begitu katanya.
Keluar dari sana, Leida menawarkan pelanggannya untuk sekedar rehat. Lebih seringnya ada pelanggan yang suka basa-basi menyoal apa saja.
Kebanyakan Remaja
Selama ini terjun di bisnis prostitusi, mayoritas pelanggan Leida dari kalangan remaja, hingga pekerja kantoran.
Beda orang beda kemauan.
Pernah satu kali Leida melayani pelanggan yang memperlakukannya kasar dan banyak maunya. "Banyak minta ganti gaya,” keluh Leida.
Gadis 18 tahun ini mengaku, keretakan rumah tangga orang tuanya di Riau sedikit banyak membuatnya memilih profesi sebagai pekerja seks komersial.
"Orang tua sudah pisah, terus aku ngerantau. Kenalan sana-sini, ya sudah jadi tinggal di sini deh," kenang Leida.
Mudahnya mendapat rupiah, membuat Leida anteng melayani para pria hidung belang yang mencari kepuasan dari orang sepertinya.
"Lumayan kan, sehari bisa (melayani) empat sampai lima lah. Dikalikan saja tuh uangnya," ucap Leida.
Ia tak lagi memikirkan bangku pendidikan. Leida hanya tamatan sekolah menengah atas ini hanya berpikir, bagaimana bertahan hidup seorang diri tanpa kasih sayang keluarga.
"Tadinya sudah ngelamar kerja. Tapi gak pernah dipanggil. Lagian juga gajinya gak seberapa kan namanya juga lulusan SMA," kata dia.
Pelanggan berlalu, Leida kembali melirik ponselnya. Kini, ia siap kembali menebar umpan untuk calon pelanggan berikutnya.
Tak butuh waktu lama, Leida mendapat pelanggan baru. Ia langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih sebelum memberi servis.
Profesi Sampingan
Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan tidak ada hal baru yang mendorong seseorang terjun dalam dunia prostitusi.
“Dulu memang ekonomi lebih dominan ya. Nah, berdasarkan penelitian di Eropa 10 tahun lalu, di zaman digital ini siapapun bisa menjadi pelaku prostitusi,” tutur Devie kepada TribunJakarta.com.
Bedanya, kata Devie, dulu pekerja seks komersial full time menjalani profesinya. Saat ini di Eropa, menjadi pekerja seks hanya sampingan.
“Nah, orang itu bisa mandiri artinya ketika mereka ada kebutuhan uang mereka bisa mencari kebutuhan tambahan, jadi part time,” ungkap dia.
Menurut Devie, fenomena ini bisa terjadi juga terjadi Indonesia. Apalagi, bisnis prostitusi saat ini peluangnya semakin mudah dengan adanya teknologi.
“Di Eropa dan di sini sama ya. Media sosialnya sama, internetnya sama. Jadi tidak menutup kemungkinan (bisnis prostitusi bertahan, red),” terang dia.
Tak hanya prostitusi, perdagangan narkotika menjadikan teknologi sebagai pasarnya. Orang dengan mudah terhubung dengan pasar ini lewat teknologi tanpa diketahui identitasnya.
“Anonimitas. Teknologi memberikan fasilitas untuk mengaburkan identitas. Sehingga, pelaku prostitusi terbebas dari stigma negatif di masyarakat," kata Devie.
Masa lalu, dunia prostitusi menjadi momok masyarakat karena proses transaksikan offline. Masyarakat mudah mengenali pelakunya.
Akses internet telah memotong jalur ‘perdagangan’ orang langsung dari pelaku sendiri, ke target konsumen, tanpa perantara.
Kini, siapapun dapat memilih mempraktikkan bisnis bawah tanah ini secara mandiri, tanpa bantuan perantara.
Hal ini yang dalam konteks orang-orang Eropa, mendorong munculnya pelaku menjadikan prostitusi sebagai kerja sampingan atau paruh waktu.
"Mereka tidak menjadikan prostitusi sebagai profesi utama, tetapi, hanya sekedar tambahan pendapatan, bila dibutuhkan,” ucap Devie.