Manuver Anies Baswedan Soal Pergantian Nama Jalan Terus Berlanjut, Anggota DPRD: Pak Anies Blunder
Menurut Anies, pergantian 22 nama jalan di Jakarta itu baru gelombang pertama dan ia siap melakukan pergantian nama jalan gelombang selanjutnya
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah mengganti 22 nama jalan di Ibu Kota dengan nama tokoh Betawi.
Menurut Anies Baswedan, pergantian 22 nama jalan di Jakarta itu baru gelombang pertama dan ia siap melakukan pergantian nama jalan gelombang selanjutnya.
Meskipun tidak menyebutkan secara pasti jumlah nama jalan selanjutnya yang akan diganti, namun Anies Baswedan memastikan hal itu akan dilakukan hingga tuntas.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat 22 Tokoh Betawi yang Namanya Diabadikan Jadi Nama Jalan
"Ini (pergantian nama jalan) tidak selesai di sini. Ini gelombang pertama, nanti kami akan teruskan sampai tuntas," ucapnya di Balai Kota, Senin (27/6/2022).
Orang nomor satu di DKI ini menyebut, keputusan pergantian nama jalan diambil sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa mereka yang telah melestarikan kebudayaan Betawi.
Dengan demikian, nama para tokoh Betawi itu akan tetap selalu dikenang dan jasanya tak dilupakan oleh generasi penerus bangsa.
"Ini akan mencerminkan di kota ini ada banyak pribadi-pribadi yang berjasa. Ini adalah kota di mana perjuangan dilakukan dan berkumpul begitu banyak pahlawan dan pribadi berjasa," ujarnya.
Eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini pun berharap, pergantian nama ini bisa menginspirasi para milenial untuk turut melestarikan budaya Betawi.
"Kami menghormati, mengenang, dan memberi inspirasi dengan mengabadikannya dan menjadikan nama jalan di Jakarta," tuturnya.
Baca juga: Anies Baswedan Ganti 22 Nama Jalan, Ketua DPRD DKI Sebut Tidak Sah, Mengapa ?
"Harapannya Jakarta makin mencerminkan sebagai kota yang menghormati pribadi-pribadi yang berjasa dan menjadikan pribadi yang berjasa sebagai inspirasi bagi generasi ke depan," sambungnya.
Anies pun memastikan, seluruh pergantian dokumen kependudukan, kendaraan, dan pertanahan tidak akan membebani masyarakat.
Dokumen yang saat ini dimiliki masyarakat pun masih sah atau legal hingga masa berlakunya habis.
"Semua yang tercatat di KTP, KK, dokumen tanah, dan kendaraan bermotor semuanya masih sahih bersamaan dengan berakhirnya validitas dokumen," kata Anies.
Ditentang Anggota DPRD DKI
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth menilai pergantian nama jalan bukan hanya akan merepotkan warga sekitar, tetapi banyak pihak lantaran berdampak terhadap berbagai aspek baik sosial maupun perekonomian, terbukti bahwa sudah ada penolakan di beberapa tempat.
Baca juga: Pergantian 22 Nama Jalan Tuai Polemik, Gubernur DKI Anies Baswedan Bakal Dipanggil Kemendagri ?
"Pergantian nama jalan ini pasti akan merepotkan banyak pihak, pertama warga sekitar, lalu usaha dan jasa layanan pengiriman logistik yang akan berdampak. Mengubah nama jalan itu tidak bisa sembarangan, ada aturannya, apalagi belakangan ini muncul penolakan penggantian nama jalan di beberapa tempat setelah diresmikan oleh Gubernur Anies," kata Kenneth dalam keterangan tertulis, Sabtu (2/7/2022).
Pada 2018 lalu, sambung Kent, Anies ingin mengubah nama jalan yang semula adalah Mampang Prapatan Raya itu menjadi Jenderal Besar AH. Nasution.
Namun, rencana tersebut gagal dan mendapat pertentangan dari masyarakat.
Padahal dalam kasus itu, Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan sosialisasi kepada warga, tapi ditentang karena memang nama Mampang Prapatan hingga Warung Buncit juga mempunyai nilai historis.
"Pada 2018, dalam kasus ini Pak Anies blunder, karena mengubah nama jalan yang sudah ada, dan itu mempunyai nilai historis seperti Mampang Prapatan dan juga Warung Buncit, walaupun Pemprov DKI sudah melakukan sosialisasi kepada warga, hingga akhirnya dibatalkan karena muncul banyak penolakan dari masyarakat. Pada prinsipnya kalau mau mengubah nama jalan, harus di pikirkan banyak sekali aspek pendukungnya. Apakah berdampak positif atau negatif ke depannya," beber Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta itu.
Baca juga: Apresiasi Pergantian 22 Nama Jalan, Budayawan Betawi: Sarana Edukasi Generasi Muda
Lalu, kemarin Anies mengganti sejumlah jalan yang sudah terkenal di bilangan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur, seperti Jalan Kebon Kacang Raya Sisi Selatan yang diubah menjadi Jalan H. M. Shaleh Ishak dan Jalan Kebon Kacang Raya Sisi Utara diubah menjadi Jalan M. Mashabi. Sementara itu, Jalan Raya Bambu Apus diganti menjadi Jalan Jalan Mpok Nori.
"Berdasarkan keterangan dari Sejarawan, bahwa Kebon Kacang dan Bambu Apus memiliki nilai sejarah dan budayanya tersendiri. Dua nama jalan itu dinilai menjadi representasi harapan akan kota yang hijau. Nama dua jalan itu mengandung pesan leluhur untuk mengajak kita untuk mengorientasikan kota ke masa depan sebagai kota hijau. Dan masih banyak lagi jalan-jalan yang mempunyai nilai historisnya," beber Kent.
Kata Kent, saat ini Anies tidak menerapkan sosialisasi ke publik jauh-jauh hari, melainkan bermanuver sendiri tanpa bersosialisasi terhadap warga terkait pergantian nama jalan yang diumumkan 22 Juni lalu dan sangat bertolak belakang dengan kasus yang terjadi pada 2018 lalu.
"Sebenarnya tidak masalah mengganti nama jalan dengan nama tokoh-tokoh di Jakarta sebagai bentuk apresiasi apa yang sudah diberikan untuk DKI Jakarta, tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, karena hal ini sangat berkaitan dengan kehidupan dan kegiatan banyak orang," tuturnya.
Kent menilai, keputusan yang dibuat Anies Baswedan melalui Keputusan Gubernur No. 565 Tahun 2022 tentang “Penetapan Nama Jalan, Gedung dan Zona Dengan Nama Tokoh Betawi dan Jakarta”, adalah keputusan yang sepihak tanpa memperhatikan aspek hukum administratif pemerintahan serta tanpa kajian kebudayaan, historis, ekonomi.
Baca juga: Pergantian 22 Nama Jalan Tuai Polemik, Gubernur DKI Anies Baswedan Bakal Dipanggil Kemendagri ?
Selain itu juga, program pergantian nama jalan tersebut tidak masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
"Kalau memang pergantian nama jalan tersebut memang sesuatu yang sangat penting untuk pembangunan Jakarta, seharusnya sejak awal, semenjak Anies terpilih menjadi Gubernur sudah mengkaji hal tersebut sehingga masuk dalam RPJMD DKI Jakarta," tegas Ketua IKAL PPRA LXII Lemhannas RI ini.
Lalu, kata Kent, keputusan perubahan nama jalan juga terkesan mendadak sehingga menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran bagi warga DKI Jakarta yang terdampak. Dan kini akhirnya banyak penolakan dari warga.
"Poin pentingnya, harus menghargai masyarakat dengan melakukan sosialisasi secara massif, agar tidak munculnya reaksi emosi negatif terhadap perubahan nama jalan tersebut. tidak adanya bentuk sosialisasi dampaknya saat ini banyak warga yang menolak jalan rumahnya diganti nama, seperti di Tanah Tinggi Jakpus yang diubah menjadi Jalan A Hamid Arief, mereka (warga-red) mengatakan bahwa nama tersebut bukan orang situ. Lalu juga ada penolakan di Kelurahan Batu Ampar, Kramat Jati, mereka menolak keras dengan membuat spanduk di lokasi. Artinya, masyarakat tidak mau nama jalannya diganti karena hanya akan membuat repot," ketus Kent.
Baca juga: Nasib 5.637 Warga DKI Jakarta Terdampak Perubahan 22 Nama Jalan
Seharusnya, kata Kent, di akhir masa jabatan 4 bulan sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies seharusnya lebih fokus dan merampungkan program yang sudah ada di RPJMD, bukan membuat program-program yang nyeleneh dan tidak bermanfaat untuk warga.
"Di akhir masa jabatan, saya meminta Pak Anies untuk merampungkan program prioritas yang terangkum dalam RPJMD saja, bukan malah membuat keputusan yang terkesan sangat politis. Keputusan perubahan nama jalan tersebut terkesan sangat politis, karena di eksekusi pada sisa 4 bulan masa jabatan yang sebentar lagi berakhir," tutur Kent.
Kata Kent, berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), tercatat ada sekitar 50.000 warga DKI Jakarta yang harus memperbaharui kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP dan kartu keluarga (KK) imbas pergantian jalan tersebut.
"Sebanyak 50 ribu warga Jakarta yang di repotkan untuk memperbaharui data. Saya berharap di sisa waktu jabatan Gubernur, Pak Anies harus bertanggung jawab terhadap seluruh beban warga yang terdampak dalam perubahan nama jalan ini untuk merubah data yang bukan hanya persoalan KTP saja sampai selesai, jangan sampai ada yang tidak terlayani dengan baik. Terkadang apa yang sudah dijanjikan baik dari pihak Pemprov maupun Korlantas faktanya tidak semulus dalam pelaksanaanya di lapangan," tutur Kent.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) DPD PDI Perjuangan Provinsi DKI Jakarta itu pun berharap, keputusan perubahan nama jalan ini tidak menjadi beban bagi Pejabat Gubernur nantinya karena di khawatirkan proses perbaikan dokumen, dan data warga tidak akan tuntas sampai akhir masa jabatan Anies.
"Jangan nantinya program perubahan nama jalan ini akan membebani Pj Gubernur kedepannya, karena dalam hitungan bulan Anies sudah tidak menjabat sebagai Gubernur DKI. Saya khawatir bahwa proses perbaikan data dan dokumen warga yang terdampak perubahan nama jalan ini tidak akan selesai dalam waktu dekat, dan Saya barharap Pak Anies dapat meninjau ulang kembali pergantian nama jalan untuk tahap kedua ini. Pak Anies harus bisa mengkaji lebih dalam, seperti sejarah di lokasi jalan, konteks tata kota atau kawasan yang memiliki sejarah, hingga identitas khusus," pungkasnya.
Hilangnya Sejarah dan Nilai Budaya
Pergantian nama jalan bukanlah sekedar perubahan nomenklatur, keruwetan mengurus ulang dokumen kependudukan, tapi juga ada sejarah dan budaya yang hilang.
Berbagai peristiwa terekam di daerah yang erat dengan sebuah nama. Belum lagi dengan sejarah di balik penunjukkan sebuah nama jalan.
Baca juga: Anies Baswedan Ungkap Alasan Ubah Nama Jalan di Jakarta, Berharap Tak Membebani Masyarakat
Ada juga pesan dan doa dari sebuah nama jalan.
Semua itu sirna kala diganti oleh nama yang baru.
Hal itulah yang disoroti Sejarawan JJ Rizal kala menanggapi kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang mengganti 22 nam jalan di Jakarrta dengan nama 22 tojoh Betawi.
"Penggantian nama jalan itu juga dikuatirkan jika asal akan menimbukkan kerugian kehilangan sejarah dan nilai budaya. Sebab pada nama tempat, nama jalan juga tersimpan sejarah dan nilai budaya yang penting," kata JJ Rizal kepada TribunJakarta.com, Rabu (29/6/2022).
Pendiri Penerbit Komunitas Bambu itu menyebut Jalan Warung Buncit Raya sebagai contohnya.
Kini nama Warung Buncit sudah tiada. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menggantinya menjadi Jalan Hj. Tutty Alawiyah.
Padahal, menurut JJ Rizal, Warung Buncit memiliki sejarah tentang toleransi orang Betawi di Jakarta.
Kata Buncit berasal dari seorang tokoh Tionghoa, yakni Tan Boen Tjit.
Tan Boen Tjit dikenal sebagai sosok yang pemurah terhadap warga pribumi Jakarta hingga begitu dihargai.
"Jalan Warung Buncit Raya itu ada sejarah keindahan toleransi dan inklusivitas masyarakat Betawi. Mereka (warga Betawi) yang identik dengan Islam memberi nama daerah dengan jalannya nama seorang Tionghoa, Tan Boen Tjit. Inilah toponimi Warung Buncit. Bukankah ini nilai sejarah budaya yang penting buat kekinian kita," kata JJ Rizal.
Baca juga: Daftar Nama Jalan di Jakarta yang Telah Diganti, Anies Baswedan: Belum Selesai, Ini Baru Gelombang 1
"Persoalannya bukan pada nama tokohnya, meskipun ada tokoh yang belum jelas peran sejarahnya, tetapi pada kurangnya kehati-hatian dalam proses memilih tempat menaruh nama-nama tokoh tersebut," tambahnya.
Selain Warung Buncit, JJ Rizal juga menyebut Jalan Kebon Kacang dan Jalan Bambu Apus yang sarat akan nilai budaya.
Kebon Kacang dan Bambu Apus merupakan representasi harapan akan kota yang hijau.
Ketika pembangunan terus memberangus kerimbunan Jakarta, nama-nama jalan yang menggunakan kata pepohonan itu akan mengingatkan kembali akan pesan leluhur tentang menjaga lingkungan.
"Pada nama Kebon Kacang atau Bambu Apus, ini toponimi (nama tempat) yang mengandung pesan leluhur untuk mengajak kita mengorientasikan kota ke masa depan sebagai kota hijau," kata JJ Rizal.
Pentingnya nama Kebon Kacang dan Bambu Apus semakin terasa ketika mengasosiasikannya dengan kondisi ruang terbuka hijau di Jakarta.
"Nah, ini pesan yang penting karena sekarang Jakarta krisis ruang terbuka hijau," tegasnya. (TribunJakarta.com/Tribunnews.com)