Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat Nilai Salah Kaprah Wacana Subsidi KRL di Jabodetabek Berdasar NIK

Pengamat transportasi mengkritik wacana penerapan subsidi kereta rel listrik (KRL) berdasarkan NIK di Jabodetabek.

Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Bobby Wiratama
zoom-in Pengamat Nilai Salah Kaprah Wacana Subsidi KRL di Jabodetabek Berdasar NIK
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Warga menunggu kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Sabtu (27/4/2024). 

TRIBUNNEWS.COM - Pengamat transportasi, Azas Tigor Nainggolan mengkritik wacana penerapan subsidi layanan kereta rel listrik (KRL) berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Jabodetabek.

Menurut Tigor, kemacetan masih menjadi isu penting untuk Kota Jakarta hingga sekarang dikarenakan tingginya penggunaan kendaraan bermotor pribadi.

"Tingginya penggunaan kendaraan bermotor pribadi di Jakarta dikarenakan masih terbatas aksesnya ke layanan angkutan umum"

"Angka kerugian akibat kemacetan Jakarta dan sekitarnya hingga saat ini setidaknya sekitar Rp 180 triliun per tahun," ungkap Tigor kepada Tribunnews, Selasa (10/9/2024).

Tigor menyebut, kerugian besar ini sudah lebih dari 10 tahun terjadi di Jakarta.

Adapun alasan wacana subsidi KRL berdasar NIK agar subsidi diberikan kepada orang yang tepat dalam hal ini adalah orang tidak mampu atau miskin saja.

"Data dalam NIK itu mencerminkan kondisi siapa pemilik NIK tersebut. Melalui NIK akan terbaca siapa dan bagaimana kondisi ekonomi atau kehidupan si pemilik NIK."

Berita Rekomendasi

"Berarti jika dia NIK orang mampu, ketika dia menggunakan layanan KRL dia harus membayar tarif tanpa ada subsidi," ungkapnya.

Penerapan pemberian subsidi layanan transportasi publik KRL Jabodetabek berdasarkan NIK ini, kata Tigor, jelas bertentangan dengan prinsip misi untuk memindahkan pengguna kendaraan bermotor pribadi menjadi pengguna layanan transportasi publik massal di Jakarta.

"Sebab yang menjadi sumber pengguna kendaraan bermotor pribadi adalah orang mampu yang dianggap oleh data dalam NIK mereka bisa membeli mobil pribadi atau sepeda motor, sehingga dianggap tidak layak mendapatkan subsidi."

"Padahal sebagai pengguna layanan transportasi publik mereka berhak mendapatkan subsidi sebagai insentif karena mereka sudah mau meninggalkan mobil dan sepeda motornya di rumah," urainya.

Baca juga: Pemerintah Diminta Pertahankan Subsidi BBM dan Tarif KRL

Sehingga, Tigor menilai pemerintah tidak menerapkan pemberian subsidi berdasarkan NIK kepada pengguna layanan transportasi publik massal KRL Jabodetabek.

"Agar berkurang atau menurunnya pengguna kendaraan bermotor pribadi dan bertambah meningkatkannya pengguna layanan transportasi publik massal di Jakarta."

"Hasilnya adalah kita bisa mengurai dan memecahkan kemacetan kota Jakarta," ungkapnya.

Tanggapan DPR

Sementara itu, Anggota DPR, Eddy Soeparno menyampaikan perlunya dukungan berbagai pihak untuk memperbaiki kualitas, kelayakan dan memperbanyak transportasi publik di Jakarta dan sekitarnya.

Sekjen PAN ini mengingatkan bahwa selama 3 tahun terakhir, Jakarta, Tangerang Selatan, dan kota-kota sekitarnya selalu masuk dalam daftar kota dengan polusi tertinggi di dunia.

"Salah satu cara terbaik mengurangi polusi adalah memperbanyak transportasi publik dan memperbanyak jumlahnya agar mudah diakses masyarakat. Pada saat yang bersamaan, perlu dilakukan pembatasan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil,," kata Eddy dalam pernyataannya, Jumat (30/8/2024).

Karena itu sebagai upaya mengurangi polusi secara signifikan, transportasi publik yang layak, berkualitas dan mudah diakses seharusnya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah.

"Demi keberlanjutan lingkungan dan udara yang bersih, justru sebaiknya masyarakat diajak untuk menggunakan transportasi publik dalam hal ini KRL Jabodetabek dengan harga yang terjangkau. Artinya kita memberikan insentif agar masyarakat memilih menggunakan transportasi publik daripada menggunakan kendaraan pribadi," lanjutnya.

Eddy menyampaikan pentingnya kementerian dan lembaga terkait memperhatikan aspirasi masyarakat khususnya pengguna transportasi publik.

Bagaimanapun, Eddy melanjutkan, jika transportasi publik menjadi lebih mahal dan pengguna beralih ke kendaraan pribadi maka polusi udara akan semakin meningkat dan berdampak pada berbagai sektor.

"Salah satu signature kota-kota besar di negara maju adalah transportasi publik yang layak, berkualitas dan terjangkau. Saya yakin komitmen kita pada keberlanjutan lingkungan bisa membuat udara Jakarta dan sekitarnya menjadi lebih bersih," katanya.

(Tribunnews.com/Gilang Putranto, Willy Widianto)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas