Syarief Hasan: Membuat Tafsir UU ITE Bukanlah Ranah Pemerintah
Menurutnya, membuat tafsir UU ITE bukanlah ranah Pemerintah, melainkan ranah hakim di pengadilan atau Penegak Hukum.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan mempertanyakan langkah Pemerintah yang ingin membuat tafsir Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurutnya, membuat tafsir UU ITE bukanlah ranah Pemerintah, melainkan ranah hakim di pengadilan atau Penegak Hukum.
Syarief Hasan menyebut, hal yang perlu dilakukan hari ini adalah merevisi UU ITE melalui DPR RI sebagai pembuat Undang Undang atau Presiden RI membuat PERPPU. Langkah Pemerintah untuk membuat tafsir telah mengambil kewenangan Pengadilan atau Penegak Hukum.
Langkah tersebut hampir sama, saat Pemerintah mengambil alih hak Anggaran DPR. Langkah tafsir UU ITE ini melengkapi Kebijakan sebelumnya yang merupakan suatu kemunduran sistem Ketatanegaraan Indonesia, sekaligus merusak demokrasi dan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Ia menilai, langkah Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) hanya akan memunculkan ketidakpercayaan masyarakat.
“Masyarakat akan semakin tidak percaya, karena hukum ditafsirkan sendiri oleh Pemerintah yang seharusnya diserahkan kepada hakim,” ungkap Syarief Hasan.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini juga menyebut, UU ITE harus direvisi karena telah menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Prosedur revisinya bisa melalui pengusulan Fraksi-Fraksi di DPR RI, melalui penerbitan PERPPU, ataupun Pemerintah membuat usulan revisi UU ITE ke DPR RI. Sebab, UU ITE memiliki banyak celah yang sering digunakan sebagai palu gada bagi para pengkritik Pemerintah," ujarnya.
Menurut Syarief Hasan, oleh karena pencetus ide revisi UU ITE awalnya dari Presiden, maka sepatutnya Presiden yang mengambil langkah inisiatif.
"Pemerintah harus mengambil inisiatif yang akan ditempuh sesuai prosedur ketatanegaraan, bukan dengan mengambil alih ranah penegak hukum atau pengadilan,” ungkapnya.
Lembaga nirlaba yang berfokus pada kebebasan berekspresi bernama “Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet)”, mencatat bahwa kasus tertinggi yang dijerat UU ITE terjadi pada tahun 2016 yang mencapai 83 kasus. Sedangkan, untuk tahun 2017 ada 53 kasus, 2018 dengan 25 kasus, dan 2019 dengan 24 kasus.
Sementara untuk tahun 2020, ada 64 kasus yang terkena jerat UU ITE. Data dari SAFEnet juga menyebut, dalam praktiknya banyak pelapor yang berasal dari berbagai pihak. Sekitar 90 persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dan sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian.
Politisi Partai Demokrat ini juga menyebut UU ITE telah menurunkan nilai demokrasi di Indonesia. “Orang-orang semakin takut memberikan kritikan karena bisa dijerat UU ITE dan bisa diserang secara pribadi. Kondisi ini membuat nilai-nilai demokrasi di Indonesia semakin menurun.” tegas Syarief.
Ia pun berharap, Presiden Jokowi bisa melakukan evaluasi terhadap implementasi UU ITE di Indonesia. “Sudah saatnya, kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak lagi terganjal oleh UU ITE. Pemerintah harus mengambil langkah besar dengan mengusulkan revisi UU ITE untuk mengembalikan marwah demokrasi di Indonesia,” tutup Syarief Hasan. (*)