Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Lebaran Bentuk Akulturasi Budaya Jawa dan Islam

Hari Kemenangan Umat Islam sebentar lagi datang dalam hitungan jari.

Penulis: Adi Suhendi
Editor: Iswidodo
zoom-in Lebaran Bentuk Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
AP foto
SUNGKEM- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara "sungkem" kepada Ibunda Siti Habibah Soekotjo di Blitar, Jawa Timur (6 Oktober 2004). 
Laporan Tribunnews.com, Adi suhendi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Hari Kemenangan Umat Islam sebentar lagi datang dalam hitungan jari. Tradisi mudik dan silaturahmi bertemu sanak famili di kampung halaman merupakan satu diantara bentuk perayaan Hari Raya Idul Fitri di negara negara berpenduduk mayoritas Islam, seperti Indonesia.

Umat muslim saat ini sudah sibuk membuat kue lebaran, termasuk hasrat kuat untuk bertemu sanak saudara di hari Lebaran. Terminal bus, stasiun kereta, pelabuhan, dan bandara menjadi pusat keramaian orang yang akan mudik.

Tidak lupa juga pusat-pusat perbelanjaan pun masih menjadi tempat yang banyak dikunjungi masyarakat untuk membeli berbagai keperluan.

Mulai dari Kamis azan Maghrib hingga Jumat waktu Ashar akan berkumandang alunan takbir di masjid, surau dan lapangan untuk mengagungkan Asma Allah sebagai bentuk syukur setelah sebulan penuh menjalankan puasa. Tabuh bedug pun akan terdengar mengiringi alunan takbir.

Walau meriah dan memasyarakat, tahukah Anda darimana asal usul Lebaran itu??

Menurut budayawan terkenal (alm) Dr Umar Khayam (dosen UGM), tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi (percampuran) budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.

Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, ayo cermati dulu profil budaya Islam secara global.

Berita Rekomendasi

Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain Asia Tenggara), sehabis melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan, yang ada hanyalah beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban.

Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan saja, melainkan kapan pun setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut.

Istilah  lebaran begitu populer di telinga masyarakat Indonesia.  Berdasarkan ilmu bahasa ternyata tidak ada keterangan dan rujukan yang baku. Sehingga istilah "Lebaran" diterima sebagai ungkapan khusus yang ada begitu saja serta hidup di dalam keseharian masyarakat luas.

Kamus Besar Bahasa Indonesia pun mengartikan kata ‘lebaran’ sebagai “hari raya ummat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawwal setelah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Hari raya ini disebut dengan Iedul Fitri , sedangkan ‘lebaran besar’ adalah istilah untuk menandai hari raya Iedul Adha atau disebut juga ‘lebaran haji’. Tidak ada penjelasan dari mana asal usul kata ini dan apa saja rujukannya dan masyarakat juga tidak terlalu mempedulikannya.

Sebagian kelompok misalnya orang Jawa beranggapan istilah “lebaran” berasal dari ungkapan bahasa Jawa ‘wis bar’ yang artinya sudah selesai, maksudnya sudah selesai menjalankan ibadah puasa. Kata ‘bar’ sendiri adalah bentuk pendek dari kata ‘lebar’ yang artinya ‘selesai’.

Bahasa Jawa memang suka memberikan akhiran ‘an’ untuk suatu kata kerja. Misalnya asal kata ‘bubar’ yang diberi akhiran ‘an’ menjadi ‘bubaran’ yang umumnya menjadi berkonotasi jamak

Jadi ungkapan ‘wis bar’ bentuk singkat ungkapan ‘wes bubar’ yang berlaku untuk masyarakat awam. Sedang ungkapan ‘sampun lebar’ digunakan oleh golongan masyarakat yang lebih tinggi tingkatan sosialnya.

Selanjutnya kata ‘lebar’ diserap ke dalam Bahasa Indonesia dengan akhiran ‘an’, sehingga menjadi istilah umum yang kita kenal sekarang yaitu ‘lebaran’. Artinya kurang lebih perayaan secara bersama dengan handai taulan setelah selesai menjalankan ibadah puasa.

Budaya sungkem

Dalam budaya Jawa, seseorang ‘sungkem’ kepada orang yang lebih tua merupakan suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan perilaku utama. Tujuan sungkem adalah sebagai lambang penghormatan, dan sebagai permohonan maaf.

Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadhan. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT.

Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah SWT bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika seseorang masih bersalah kepada orang lain dan orang tersebut belum minta maaf?

Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari Lebaran itu antara seorang dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masing-masing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari Lebaran, karena puasa telah lebar atau selesai, dan dosa-dosanya telah lebur atau terhapus.

Dari uraian di muka dapat dimengerti, bahwa tradisi Lebaran berikut halal bihalal merupakan perpaduan antara unsur budaya Jawa dan budaya Islam. (berbagai sumber)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas