Menlu AS Dinilai Intervensi Indonesia Soal Papua
Yuddy Chrisnandi mengingatkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa untuk tak menyepelekan pernyataan Hillary Clinton
Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Harismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kondisi terkini di Papua, diam-diam diperhatikan Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton. Katanya, AS mengkhawatirkan masalah HAM yang terjadi di Papua dan meminta pemerintah untuk berdialog dengan masyarakat Papua.
Sedianya, Hillary Clinton akan ikut menemani Presiden Amerika Serikat, Barack Obama menghadiri KTT Asia Timur di Bali yang akan berlangsung pada pekan depan. "Perlu dialog, reformasi politik dalam memenuhi kebutuhan legal rakyat Papua. Kami (AS), akan mengangkat isu ini, mendorong pendekatan (dialog), kata Hillary seperti dikutip kantor berita AFP.
Menanggapi ini, politisi Partai Hanura, Yuddy Chrisnandi mengingatkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa untuk tak menyepelekan pernyataan Hillary Clinton. Pernyataan Hillary, dianggapnya, sebagai bentuk intervensi tidak langsung terhadap kedaulatan Indonesia. Sekaligus, ancaman terhadap integrasi Papua.
"Menlu harus memberikan jawaban tegas,memperingatkan AS agar menghormati Indonesia dalam mengatasi masalah Papua, seraya mengingatkan Amerika, bahwa salah satu faktor utama penyebab Instabilitas sosial di Papua adalah keberadaan PT Freeport asal Amerika yang beroperasi sejak tahun 1968," tegas Yuddy, Minggu (13/11/2011).
Indonesia, katanya, perlu mengingatkan Amerika Serikat, bahwa mereka juga bertanggungjawab atas persoalan Papua hingga hari ini. Jadi, pemerintah jangan sampai tinggal diam atas sikap Amerika Serikat ini.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR, Tjahjo Kumolo juga sudah mengingatkan. Dikatakan, mencermati gelagat perkembangan masalah Papua saat ini, sudah saatnya Papua diselesaikan dengan cara Papua setelah pelumpuhan UU Otsus oleh Jakarta.
"Penyelesaian Papua terletak di mindset para pejabat di pemerintah Pusat . Bukan saja sukses membangun mitos dan akhirnya menjebak kita semua dalam lubang gelap separatisme," Tjahjo Kumolo mengingatkan. (*)