Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Keluarga Korban Cebongan Tuntut Sidang di Tempat Netral

Keluarga korban penyerbuan Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, Yogyakarta, mendesak lokasi persidangan para terdakwa dipindahkan.

zoom-in Keluarga Korban Cebongan Tuntut Sidang di Tempat Netral
TRIBUNJOGJA/YUDHA KRISTIAWAN
Sekitar pukul 14.00 WIB, berkas ketiga kasus penyerangan Lapas Cebongan dengan terdakwa Sertu Ikhmawan Suprapto, disidangkan di ruang sidang ke dua Dilmil II-11 DIY, Kamis (20/6/2013). 

Laporan Wartawan Pos Kupang, Fredy Bau

TRIBUNNEWS.COM, KUPANG - Keluarga korban penyerbuan Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, Yogyakarta, mendesak lokasi persidangan para terdakwa dipindahkan, karena di Yogyakarta tidak netral.

Menurut keluarga korban, persidangan berlangsung dalam situasi teror dan penuh intimidasi. Demikian satu dari tujuh pernyataan sikap keluarga korban yang diserahkan pihak keluarga ke Redaksi Pos Kupang (Tribun Network), Kamis (20/6/2013).

Keluarga korban yang menyerahkan pernyataan sikap adalah Victor Manbait (keluarga Juan Manbait), Yanny Riwu Rohi (keluarga Gamelial Y Rohi Riwu), Jorhans Kadja (keluarga  Hendrik Sahetapy Angel), dan Roby Ranga (keluarga Adrianus Chandra Galaja).

Pernyataan sikap, kata mereka, dibuat atas kekecewaan terhadap perlakuan aparat negara yang tidak lagi memegang nilai-nilai kenegaraan.  

Selain meminta tempat persidangan dipindahkan, keluarga korban juga menyesalkan kehadiran milisi lokal dari organisasi massa, saat persidangan. Keluarga korban menilai, itu merupakan bentuk intimidasi terhadap proses persidangan.

Berikut tujuh pernyataan sikap keluarga korban dalam proses peradilan militer terhadap para terdakwa pada sidang perdana, Kamis (20/6/2013). Pertama, sejak awal keluarga menolak para prajurit Kopassus diadili di peradilan militer, karena unsur transparansinya tidak bisa dijamin.

Berita Rekomendasi

Ini terbukti dengan tidak hadirnya para pihak yang beperkara. Peradilan militer hanya melestarikan posisi institusi militer di era Orde Baru sebagai negara dalam negara, di mana supremasi militer terhadap masyarakat sipil berlangsung semena-mena.

Kedua, keluarga menuntut Mahkamah Agung menjamin keterbukaan informasi terhadap publik dalam seluruh proses persidangan, dan memastikan tidak ada intimidasi dalam proses persidangan.

Ketiga, keluarga menyesalkan kehadiran milisi lokal dalam persidangan. Kehadiran milisi lokal di Yogyakarta merupakan bentuk intimidasi terhadap persidangan.

Keluarga korban menuntut Pemerintah RI bertindak tegas terhadap kelompok milisi yang sudah bisa diidentifikasi para pemimpinnya maupun otak intelektualnya.

Keempat, kehadiran para milisi merupakan intimidasi serius terhadap para saksi. Sikap masa bodoh yang ditunjukkan militer maupun pihak kepolisian terhadap kehadiran para milisi, merupakan bukti nyata persekongkolan yang mengingkari nilai republik.


Kelima, keluarga menyesalkan peradilan militer hanya menyentuh para pelaku langsung, dan tidak menyentuh aspek tanggung jawab komando di tubuh Kopasssus, Kodam Diponegoro, maupun Polda DIY.

Mutasi Pangdam Diponegoro dan Kapolda DIY hanya merupakan bentuk cuci tangan institusi kepolisian dan TNI-AD dalam kasus ini, dan hanya menempatkan kasus ini sebagai perkara para prajurit kecil.

Keenam, keluarga menuntut seluruh proses persidangan dipindahkan dari Yogyakarta ke kota lain karena tidak netral, serta berlangsung dalam situasi teror dan penuh intimidasi.

Ketujuh, keluarga tetap menuntut agar dibentuk tim independen yang mengusut secara menyeluruh kasus tragedi Yogyakarta, dimulai dari Hugo's Cafe, Polda DIY, hingga Lapas Cebongan.

Itikad baik dari seluruh pihak untuk membuka kasus ini, menjadi pertaruhan terlaksananya nilai-nilai republik. (*)

Sumber: Pos Kupang
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas