Hartati Merasa Dikorbankan Anak Buahnya
Siti Hartati Murdaya merasa menjadi korban dari ulah anak buahnya, terdakwa Totok Lestiyo, yang menyuap mantan Bupati Buol Amran Batalipu.
Penulis: Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bos PT Hardaya Inti Platation (HIP) Siti Hartati Murdaya, merasa menjadi korban dari ulah anak buahnya, terdakwa Totok Lestiyo, yang menyuap mantan Bupati Buol Amran Batalipu.
Mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat menegaskan, ia tak pernah menyetujui dan tak pernah memerintahkan pemberian uang kepada Bupati Buol.
Pemberian uang itu, menurut Hartati, murni atas inisiatif anak buahnya, dan dilakukan dengan cara mengelabui dirinya.
"Bagaimana bisa disebut menyetujui, saya tidak pernah menyampaikan persetujuan, dan tidak tahu-menahu. Saya baru tahu belakangan setelah kasus ini diungkap KPK," kata Hartati saat bersaksi dalam sidang lanjutan Totok Lestiyo di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (7/11/2013).
Hartati merasa dikorbankan anak buahnya, Totok Lestyo dan Arim. Kata Hartati, saat dirinya berusaha menghindari Bupati Buol yang terus meminta uang, kedua anak buahnya diam-diam mengeluarkan uang perusahaan dan diberikan kepada Amran.
"Saya heran, sebenarnya ada konspirasi apa antara para anak buah saya dengan Bupati Buol saat itu, sehingga tanpa persetujuan saya mereka berani mengambil uang perusahaan untuk Bupati Buol," ppaar istri pengusaha Murdaya Poo.
Hartati mengaku tidak punya kepentingan untuk menyuap Amran Batalipu. Sebab, semua perizinan perkebunannya di Buol sudah lengkap dan sah. Sementara, mengenai pembicaraan terkait sadapan telepon dengan Amran, Hartati mengaku menggunakan kata barter sebagai upaya menolak secara halus permintaan uang.
"Saya tahu, untuk menerbitkan HGU bukan kewenangan Amran, itu kewenangan BPN. Jadi, saya minta sesuatu ke Amran sesuatu yang tidak mungkin dia lakukan, sehingga saya tidak perlu memberikan uang kepadanya," jelasnya.
Hartati saat itu mengaku tidak menolak secara tegas, karena kondisi pabrik dan perusahaan sedang diduduki preman suruhan Amran, dan sempat berhenti beroperasi.
"Saya takut, kalau saya tolak kondisinya pabrik dan perkebunan makin runyam," cetus Hartati. (*)