LPSK: Aksi Mogok Dokter Abaikan Hak Korban
Haris menilai tindakan para dokter untuk mendukung rekan sejawatnya, dr. Dewa Ayu justru mengabaikan penderitaan
Penulis: Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi mogok dokter yang digelar pada Rabu (27/11/2013) kemarin dinilai Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai adalah sikap yang tidak menghormati proses penegakan hukum.
Haris menilai tindakan para dokter untuk mendukung rekan sejawatnya, dr Dewa Ayu Sasiary Prawani justru mengabaikan penderitaan yang dialami korban Julia Fransiska Makatey yang meninggal saat operasi caesar.
"Putusan kasasi mahkamah agung telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga setiap orang termasuk dokter harus menghormati putusan hakim dan memperhatikan hak korban," kata Haris dalam keterangan persnya diterima Tribunnews.com, Kamis (28/11/2013).
Haris menjelaskan hak korban, selain memiliki hak keadilan untuk menempuh proses hukum, juga berhak mendapatkan ganti rugi akibat suatu penderitaan dan kerugian yang dialaminya akibat suatu tindak pidana. Itu perlu disampaikannya, karena terang Haris, selama ini posisi pasien sebagai korban tidak seimbang.
"Seringkali pasien diperlakukan tidak adil, karena setiap tindakan dokter dianggap sebagai pembenaran medis, sehingga penderitaan korban dianggap sebagai resiko medis. Ini justru membuat pasien terabaikan hak-haknya sebagai korban akibat tindakan pelanggaran atau pengabaian yang dilakukan dokter," kata Haris.
Lebih lanjut, Haris menilai bahwa dokter bukan manusia istimewa yang harus diperlakukan berbeda dengan manusia lain. Karena itu, setiap orang termasuk dokter harus dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika melakukan tindakan yang masuk kategori pidana atau kesalahan yang dilakukan
Selain itu, Haris mengingatkan bunyi kode etik kedokteran pada Pasal 1 yang menyatakan setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter. Dia juga mengiatkan adanya Pasal 3 yang menyatakan dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi dan Pasal 4 yang menyatakan setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
"Tindakan aksi solidaritas dan membenarkan tindakan pidana yang dilakukan rekan sejawat ini menunjukan dokter tidak independen dan mempertontonkan kesombongan profesi kedokteran" kata Haris.
Kendati demikian, Haris mengatakan, pihaknya mendorong keluarga korban dapat mengajukan restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
"Sesuai ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban menyatakan pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekeuatan hukum tetap, untuk itu pihak keluarga korban dapat segera mengajukan permohonan restitusi," kata Haris.
Karena itu Haris meminta agar Mahkamah Agung tetap independen dalam menyikapi pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh dr. Dewa ayu.
"Putusan peninjauan kembali nanti harus dibuat tidak boleh didasarkan adanya tekanan dari pihak manapun," ujar Haris.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.