Penjelasan MK Tolak Panel Ahli dan Rekrutmen Calon Hakim Konstitusi
Sia-sia sudah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Peraturan Pengganti Undang Undang No 1/2013
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sia-sia sudah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Peraturan Pengganti Undang Undang No 1/2013 tentang Perubahan Kedua Undang Undang MK yang kini menjadi Undang Undang Nomor 4 tahun 2014.
UU tersebut tidak berlaku setelah Mahkamah hari ini mengabulkan untuk seluruhnya uji materi (judicial review) UU tersebut yang digugat forum pengacara konstitusi dan sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember.
Berikut adalah pertimbangan Mahkamah mengabulkan uji materi yang dirangkum dari salinan putusan yang diperoleh Tribunnews:
Pertama mengenai pokok permohonan pengaturan mengenai penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi.
Mahkamah menegaskan pengaturan proses pengangkatan Hakim Konstitusi yang diatur dalam UU 4/2014 bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, pembentukan panel ahli yang diatur pasal tersebut nyata-nyata mereduksi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.
Mahkamah mencontohkannya apabila pengajuan Rancangan Undang-Undang, termasuk RAPBN oleh Presiden harus melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh lembaga negara yang lain adalah juga pasti mereduksi kewenangan Presiden.
"Lain halnya apabila lembaga negara yang bersangkutan membentuk panitia yang akan menyeleksi secara internal untuk melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam mengajukan calon Hakim Konstitusi. Hal demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi karena tidak ada kewenangan konstitusional lembaga negara yang direduksi," ujar majelis anggota Maria Farida Indrati saat membacakan pendapat Mahkamah, Jakarta, Kamis (13/2/2014).
Selain itu Mahkamah juga mempertanyakan mengenai penggunaan kata 'ahli' pada kata 'panel' yakni tentang keahlian dalam bidang apa sebenarnya yang diperlukan. Mahkamah berpendapat syarat keahlian pada panel ahli harus lah terukur secara rasional.
Menurut Mahkamah, Hakim Konstitusi memiliki karakteristik tersendiri, yang dalam UUD 1945, karakteristik khusus tersebut disebutkan sebagai seorang negarawan.
Meskipun syarat 'negarawan' adalah sulit untuk ditentukan kriterianya secara pasti, namun hal demikian haruslah dipahami betapa pembentuk UUD 1945 secara sadar mengidealkan bahwa dalam diri seorang Hakim Konstitusi sekurang-kurangnya layak untuk diharapkan memiliki kepribadian dimaksud.
Dengan hanya satu Panel Ahli untuk pemilihan Hakim Konstitusi yang berasal dari tiga lembaga negara, maka secara pasti akan terpilih Hakim Konstitusi yang sama
standarnya termasuk juga kesamaan latar belakangnya sebagaimana yang diinginkan oleh Panel Ahli.
"Dalam pemilihan Hakim Konstitusi, harus dihindarkan adanya unsur favoritisme dan popularisme. Oleh karenanya, tes pemilihan hakim bukanlah tes litmus bagi calon hakim dari kacamata pemilihnya, yaitu, Panel Ahli, padahal subjektivitas Panel Ahli tidak dapat dihindari."
"Dengan dasar pemikiran tersebut, adanya tim seleksi yang dibentuk oleh masing-masing lembaga negara dapat menghindarkan dominasi subjektivitas Panel Ahli dalam pemilihan Hakim Konstitusi dan dapat menghindari terpilihnya Hakim Konstitusi yang memiliki latar belakang yang sama (homogen)," katanya.