Usman-Harun, Setiap Pagi Tiga Kali Nyanyikan Lagu Indonesia
Bahkan pria yang sudah menetap di Batam dari tahun 1997 itu, ternyata satu-satunya saksi hidup perjuangan Usman-Harun
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, BATAM -- Herman Thio (73), pria kelahiran Tanjung Batu tercatat sebagai pejuang veteran Republik Indonesia (RI) saat terjadi gejolak antara Indonesia dan Singapura. Bahkan pria yang sudah menetap di Batam dari tahun 1997 itu, ternyata satu-satunya saksi hidup perjuangan Usman-Harun yang dieksekusi mati di tiang gantungan di Penjara Changi, Singapura, pada 17 Oktober 1968 oleh pemerintah Singapura.
Sebelum menceritakan perjuangannya selama satu bulan di dalam tahanan pemerintah Singapura bersama Usman dan Harun, Herman terlebih dahulu menceritakan awal perjalanan hidupnya menjadi pejuang sukarelawan RI saat terjadi pergolakan dengan Singapura.
Pada tahun 1964, ia bersama pejuang relawan RI berangkat dari Pulau Asam, Tanjung Balai Karimun membantu Malaysia untuk melawan Singapura. Ia tercatat sebagai pejuang sukarelawan Tentara Nasional Malaysia (TNM).
Setelah beberapa bulan menjadi TNM melawan Singapura, kata Herman, ia tertangkap oleh Polisi Singapura. Ia dikembalikan ke Malaysia karena tidak terbukti melakukan kejahatan, namun ia kembali diserahkan pemerintah Malaysia ke pemerintah Singapura karena tercatat sebagai penduduk asli Singapura. Akhirnya setelah menjalani proses hukum, ia dinyatakan bersalah dan akan dihukum gantung oleh pemerintah Singapura.
"Sebelum tertangkap Polisi Singapura, saya sudah terlebih dahulu mendapatkan AIC Singapura. Makanya saat diserahkan ke Pemerintah Malaysia, saya dikembalikan ke pemerintah Singapura. Baru saya dimasukkan dalam tahanan, saya ditahan di Auran Rod, Singapura. Setelah beberapa hari di tahan, baru Usman dan Harun tertangkap. Keduanya juga di tahan di tahanan Auran Rod, kami bertiga satu ruangn di lantai tiga. Dalam tahanan di lantai tiga itu, ada 80 kamar sel tahanan. Hanya kami betiga dalam ruangan itu, tapi beda-beda sel,"kenang Herman bersama Usman dan Harun.
Selama satu bulan dalam sel yang sangat terisolasi, kata Herman, ia bertiga sempat bercerita panjang lebar tentang nasib masing-masing. Ia bertiga sudah sama-sama mengetahui akan dihukum gantung oleh pemerintah Singapura. Usman dan Harun juga sempat menceritakan kejadian pengeboman gedung Mac Donald House (MDH)-terletak di kawasan Orchard Road, Singapura. Ia berangkat dari Pulau Sambu, Batam, tambahnya, awalnya keduanya akan melakukan pengeboman pipa air yang tebentang dipinggir laut di Singapura.
Herman melanjutkan, kata Usman, bom waktu yang dibawanya dari pulau sambu tidak jadi digunakan meledakkan pipa air. Bom di pindahkan ke gedung MDH, katanya banyak sekali korbannya. Setahu saya gedung MDH itu gedung paling ramai saat itu di Singapura.
Setelah meletakkan bom di lantai tiga gedung MDH, keduanya bersembunyi dalam truk tanpa pintu di pinggir pantai, paginya setelah bom meledak mereka kabur menggunakan sampan ke Pulau Sambu. Sialnya, ditengah perjalan hampir tiba di pulau Sambu mereka tertangkap polisi Singapura. Mereka kembali ditarik.
"Selama satu bulan dalam tahanan, Usman dan Harun sangat cinta NKRI. Setiap pagi selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tiga kali wajib setiap pagi menyanyikan lagu Indoensia Raya, siangnya apapun lagu dinyanyikan. Tiada hari tanpa menyanyi keduanya. Setelah bosan nyanyi, keduanya. Langsung ngamuk dan marah-marah. Pintu sel dan jeruji-jeruji sel itu ditendangi. Sekeras apapun mengamuk dan nyanyi, tidak satupun orang yang bisa mendengarnya. Gedung itu tertutup rapat, apalagi ruang sel di lantai tiga itu tidak satupun ada yang menunggu, hanya kami bertiga di dalamnya,"jelas Herman.
Selama satu bulan itu, cerita Herman lagi, ia bertiga hanya boleh satu kali turun ke bawah membuang hajat kecil dan besar. Waktu keluar pagi hari, ia turun satu-persatu ke bawah membuangnya. Usman sel paling ujung, waktu lewat pasti lewat depan selnya dan begitu jugan dengan Harun. Ia hanya bisa melihat wajah Usman dan Harun dari celah lobang-lobang kecil sel nya. (Aprizal)