Moratorium Iklan Politik Cerminkan Kewarasan Publik
Pakar komunikasi politik Universitas Indonesia, Effendi Ghazali, menilai adanya kebijakan moratorium iklan politik
Penulis: Danang Setiaji Prabowo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar komunikasi politik Universitas Indonesia, Effendi Ghazali, menilai adanya kebijakan moratorium iklan politik merupakan cerminan kewarasan publik.
Effendi mengatakan latar belakang moratorium dilakukan karena ada pemilik stasiun televisi yang berafiliasi dengan parpol, memasang iklan politik semaunya. Ia mempertanyakan apakah pemilik stasiun televisi itu juga membayar pajak iklan dan apakah bayarannya sama dengan pemasang iklan lain.
"Moratorium itu mencerminkan kewarasan publik. Kalau waras, setuju moratorim. Ada yang punya uang banyak, stasiun TV, suka-suka pasangnya. Kampanye itu pendidikan politik publik. Cuma kalau itu ditegakkan, sama tidak aksesnya?" ujar Effendi di FKUI, Kamis (6/3/2014).
"Benar tidak bayarannya sama meski di TV sendiri? Ada pajaknya tidak? Baik di pilpres atau pileg, kelemahannya di UU," lanjutnya.
Effendi menjelaskan moratorium iklan politik karena adanya kelemahan dalam UU Pemilu. Menurutnya susunan kalimat mengenai yang dimaksud kampanye, bisa diakali peserta pemilu.
"Kampanye itu didefinisikan menyampaikan visi, misi, dan program. Artinya kalau cuma sampaikan program, bukan kampanye, karena tidak sampaikan visi misi. Sampai kapan pun bangsa ini enggak akan pernah kampanye," tuturnya.
"Ini persoalannya di UU. Teriakan untuk moratorium harus terus dilakukan supaya melatih sensitifitas menjadi orang waras," katanya.