Ichsanuddin Noorsy: Sebagian Obligor BLBI Pernah ke Istana dan Diterima SBY
ada kondisi khusus sehingga Megawati Soekarnoputri saat menjadi presiden mengeluarkan kebijakan release and discharge.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi dan kebijakan publik, Ichsanuddin Noorsy menilai ada hal yang tak tepat dengan anggapan bahwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berakhir dengan kebijakan release and discharge (RnD) bakal terulang jika Joko Widodo terpilih jadi presiden.
Ichsanuddin Noorsy menegaskan, ada kondisi khusus sehingga Megawati Soekarnoputri saat menjadi presiden mengeluarkan kebijakan release and discharge.
"Megawati menerbitkan Inpres (Instruksi President, red) untuk pelaksanaan release and discharge itu atas dasar TAP (Ketetapan, red) MPR dan UU Propenas," kata Ichsanuddin Senin (31/3/2014) kemarin.
Dijelaskan, dalam Tap MPR Nomor X Tahun 2001, Megawati sebagai presiden mendapat tugas dari MPR agar menjaga konsistensi pemerintah dalam melaksanakan perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master of Refinancing Agreement (MRA).
Sementara UU Propenas tahun 2000-2004 merupakan turunan Ketetapan MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004.
"Megawati (ketika itu) menyetujui RnD di sidang kabinet yang dihadiri juga oleh SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, red) selaku Menkopolkam. Jadi SBY juga setuju atas pemberian RnD itu," Ichsanuddin menegaskan.
Mantan anggota DPR RI yang mencuat namanya saat membongkar kasus Bank Bali itu menambahkan kembali, jumlah BLBI sebesar Rp 144,53 triliun. Kemudian, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) punya tugas untuk menagih ke pengutang sebesar Rp 132, 64 triliun.
Sedangkan penagihan dari bank berstatus Bank Dalam Likuidasi (BDL) yang nilainya mencapai Rp 11,89 triliun dialihkan ke Departemen Keuangan.
Obligor BLBI yang paling bermasalah, Ichsanuddin Norsy memastikan, adalah bos BDNI, Sjamsul Nursalim. Sementara total BLBI yang digelontorkan ke BDNI adalah Rp 28 triliun.
"Yang bayar secara tunai hanya Rp 1 triliun. Sisanya, dibayar dengan menyerahkan perusahan. Antara lain PT Dipasena yang dinilai mencapai Rp19 triliun lebih, tapi dijual oleh PT Perusahaan Pengelola Aset hanya Rp 488 miliar dan hak tagih ke petambak Rp 200 miliar," paparnya.
Kesalahan besar kebijakan soal BLBI ada di BI, Departemen Keuangan, serta semua penikmat BLBI. Ironisnya, imbuh Ichsanuddin, semua obligor BLBI kini menjadi orang-orang terkaya di Indonesia dan Singapura.
"Dan sebagian pernah bertamu ke Istana dan diterima Presiden SBY," tegasnya.
Ichsanuddin justru mengaku heran dengan akademisi yang menyebut kasus BLBI bakal terulang jika Joko Widodo sampai terpilih menjadi presiden selanjutnya. "Itu sangat bgawur," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.