Penahanan Florence Keterlaluan
Polri diminta tidak perlu over acting dengan menahan Florence Saulina Sihombing.
Penulis: Achmad Subechi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Yogyakarta harus berhati nyaman dan damai dalam menanggapi kasus Florence Saulina Sihombing yang diduga melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap kota tersebut. Bandingkan pula, bagaimana sikap warga Yogyakarta ketika intoleransi yang bernuansakan SARA terjadi yang sebenarnya sangat tidak bisa diterima dalam budaya Jawa atau Indonesia yang ber-Bhinneka. Polisi juga tidak perlu over acting dengan menahan Florence Saulina Sihombing dalam kasus tersebut. Mahasiswa S2 Universitas Gajahmada ini sudah cukup mendapat sanksi sosial dengan mendapat liputan negatif tentang dirinya. Demikian diungkapkan Konsultan Komunikasi Politik, AM Putut Prabantoro saat ditanya tentang kasus tersebut.
Florence ditahan setelah dituduh menghina dan menjelek-jelekan warga Yogyakarta setelah beberapa lembaga di Jogyakarta melaporkan tulisan warga asal Sumatera Utara. Tulisannya berbunyi,“Jogya Miskin, Tolol dan Tak Berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung Jangan Mau Tinggal Di Jogya”. Pernyataan ini ditulis Florence karena kesal terkait peristiwa di SPBU di Lempuyangan, Yogyakarta.
“Saya kira siapapun warga Yogyakarta pasti merasa terhina dengan apa yang ditulis oleh Florence di media sosial. Namun dengan melaporkan dan akhirnya polisi menahannya sebagai tersangka dalam kasus tersebut saya kira itu sudah keterlaluan,” ujar Putut Prabantoro, Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada – Semangat Satu Bangsa – dari wartawan, oleh wartawan dan untuk Indonesia.
Menurut Putut Prabantoro, yang juga berasal dari Yogyakarta ini, sanksi atas kasus penghinaan itu sungguh tidak seimbang dan tidak adil jika dibandingkan dengan tindakan polisi yang tidak berbuat apapun ketika ada tindak intoleransi mengatasnamakan SARA. Kasus-kasus kekerasan bernuansakan SARA itu tidak ada ujung pangkalnya dan tindakan yang dilakukan polisipun juga tidak jelas.
“Sebagai contoh, kasus Ngaglik Sleman dan kasus Makam Ndoro Purba di Semaki seharusnya sangat melukai hati dan menghina warga Yogyakarta secara keseluruhan karena kota ini adalah Indonesia mini, sangat pluralis, sangat memiliki budaya dan sangat teguh memegang adat istiadat. Namun saya tidak tahu apakah sejumlah lembaga yang melaporkan Florence itu juga melakukan hal yang sama dalam kasus-kasus intoleransi tersebut ?” jelas Putut Prabantoro.
Menurut Putut Prabantoro, jika Florence memang dianggap bersalah, beri saja sanksi sosial berupa pengusiran dari Yogyakarta dibanding dengan penahanan karena sudah ditetapkan sebagai tersangka. Selain pengusiran, ditambahkannya, sanksi sosial juga bisa diberikan dengan menyatakan Florence, misalnya, dilarang datang ke Yogyakarta untuk seumur hidup. Jika yang bersangkutan datang lagi di Yogyakarta, Florence akan ditangkap.
“Polisi sebaiknya tidak menggunakan standar ganda dalam penanganan kasus-kasus yang terjadi di Yogyakarta. Polisi juga harus menggunakan hati untuk menyelesaikan kasus-kasus seperti ini. Untuk kasus kekerasan pun tidak ada sanksinya, lha ini kasus yang seperti itu, langsung melakukan berita acara. Polisinya khan malah tidak berbudaya itu,” jelasnya lebih lanjut.
Oleh karena itu, Putut Prabantoro juga mendorong agar masyarakat Yogyakarta mendorong terbangunnya kembali Yogyakarta sebagai kota budaya yang sangat menjunjung tinggi kebhinnekaan, keberagaman, sopan santun dan juga “tepa selira”. Mungkin, demikian Putut menganalisa, kasus Florence itu hanyalah puncak gunung es dari perubahan budaya Yogyakarta yang luput dari pengamatan masyarakatnya sendiri.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.