Bambang Ungkap Alasan DPR Pakai Hak Interpelasi untuk Kartu Sakti Jokowi
Sekretaris Fraksi Golkar Bambang Soesatyo mengungkapkan alasan DPR akan memakai Hak Interpelasi untuk 'kartu sakti' Joko Widodo.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Gusti Sawabi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Fraksi Golkar Bambang Soesatyo mengungkapkan alasan DPR akan memakai Hak Interpelasi untuk 'kartu sakti' Joko Widodo. Pasalnya, Bambang melihat ada kejanggalan dalam peluncuran kartu tersebut.
"Mengapa DPR perlu menggunakan Hak Interpelasi terkait Kartu Sakti Jokowi? Karena DPR mengendus adanya upaya akal-akalan dan pembohongan publik," kata Bambang melalui pesan singkat, Kamis (13/11/2014).
Ia menilai para menteri Kabinet Kerja tampaknya tidak bisa membedakan antara Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS), sehingga ada menteri yang mengatakan KIS adalah pergantian nama dari BPJS dan ada juga yang mengatakan bahwa BPJS adalah pelaksana dari KIS.
Jokowi, kata Bambang, dalam janji kampanyenya mengatakan KIS adalah jaminan kesehatan untuk membebaskan seluruh biaya pelayanan kesehatan masyarakat di kelas III, rumah sakit. Tanpa pungutan iuran dan tanpa co-sharing. Semua dibayar oleh negara.
"Pertanyaannya, dari mana pos penganggarannya diambil? Sebab sampai saat ini belum ada pembahasan di DPR. Ini jelas pelanggaran UU APBN," ujar Anggota Komisi III DPR itu.
Sementara itu, tuturnya, BPJS adalah asuransi kesehatan yang mewajibkan seluruh rakyat bayar iuran dan co-sharing. Ada 86,4 juta jiwa dibayar negara sebagai penerima bantuan iuran (PBI) dari pemerintah. Buruh, PNS dan TNI/Polri dipotong upah dan gajinya dan sisanya membayar langsung lewat iuran bulanan sebesar Rp 25.500/bulan untuk kelas III, Rp 35,500 untuk kelas II, Rp 55,500 untuk kelas I dan lebih tinggi lagi untuk VIP.
"Jadi, KIS dan BPJS jelas berbeda," katanya.
Tujuan KIS adalah melayani sementara, BPJS tujuannya adalah menarik dan mengambil semua dana ASKES, JAMSOSTEK, ASABRI dan TASPEN. BPJS juga mengambil dana APBN, gaji dan upah buruh, PNS dan TNI/Polri dan iuran bulanan dari masyarakat.
Jelas, kata Bambang, KIS bukan BPJS dan KIS bukan bagian dari BPJS. Kalau KIS dikatakan sama atau menjadi bagian dari BPJS, berarti ada upaya pembohongan publik.
"Pembohongan publik ini makin terang menderang ketika hampir semua pejabat pemerintah mengatakan KIS sama saja dengan BPJS. Yang beda hanya kartunya. Ini jelas keliru. Lebih parah lagi, ada menteri mengatakan, KIS adalah jelmaan dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan tetap akan dijalankan oleh Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS)," ungkapnya.
Bambang menegaskan DPR perlu penjelasan Presiden sekaligus mengingatkan. jangan sampai ada UU yang dilanggar dan rakyat jangan dibodoh-bodohi dengan program KIS.
Ia menuturkan DPR menginginkan setiap masyarakat miskin atau tidak mampu mendapat pelayanan kesehatan yang baik dan gratis untuk semua penyakit, obat-obatan memadai dan tidak ada biaya tambahan perawatan. Rumah Sakit untung dan Dokter dibayar normal.
"DPR khawatir jika pemerintah grasa-grusu karena lebih mengedepankan pencitraan dalam mewujudkan janji-jandi kampanye, akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," katanya.
Ia mencontohkan masyarakat pemegang kartu sakti atau KIS tidak mendapat pelayanan seluruh penyakit dan harus membayar lagi serta kualitas obat-obatan yang buruk. DPR juga khawatir Pembayaran yang tidak lancar karena belum dianggarkan dalam APBN, dapat menyebabkan Rumah Sakit lama-lama bangkrut dan dokter yang dibayar tidak wajar.
"Lebih dari itu, selain mempersoalkan KIS, Fraksi Partai Golkar juga akan mengagas merevisi UU BPJS yg dalam praktiknya cenderung menjadi alat kapitalis yang hanya mengeruk modal murah dari masyarakat, namun sangat jauh dari melayani masyarakat," ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.