Jerih Payah Marsekal Madya Henry Bambang Soelistyo dan Empati untuk Keluarga Korban AirAsia
Jerih Payah Marsekal Madya Henry Bambang Soelistyo non stop menyampaikan updating evakuasi korban AirAsia layak jadi inspirasi kemanusiaan.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Ketika menara Pengawas Lalu Lintas Udara Bandara Internasional Soekarno-Hatta menghubungi kantor Badan SAR Nasional terkait hilangnya sinyal pesawat AirAsia QZ 8501 pada 28 Desember lalu, Marsekal Madya F Henry Bambang Soelistyo (55) segera mengerahkan unsur kekuatan Basarnas di daerah. Pergerakan diawali dari pos Basarnas di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung.
”Hari ini, kami luncurkan dulu semua unsur dan potensi kekuatan yang kami miliki. Besok, baru kami adakan koordinasi,” demikian pernyataan Soelistyo di depan media beberapa jam setelah pesawat tersebut dinyatakan hilang.
Wajahnya tegang. Pada waktu itu, Soelistyo menyatakan, dia dan Badan SAR Nasional (Basarnas) akan berusaha secepat mungkin menemukan keberadaan pesawat naas itu.
Ketika ditemui beberapa hari kemudian, Soelistyo mengatakan, setelah menerima informasi kejadian merupakan waktu tanggap bagi Basarnas untuk bergerak secepat mungkin. Pada saat itu, koordinasi belum langsung tertata. Bahkan, wilayah lokasi pencarian masih diperhitungkan.
”Karena ini musibah pesawat, yang saya luncurkan adalah kekuatan yang berhubungan dengan kecelakaan pesawat, alat-alatnya, personelnya, dan alat utamanya, yakni kapal dan pesawat terbang,” ujarnya.
Kala itu, dia segera berkoordinasi dengan TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara untuk menggerakkan unsur kekuatan yang berada di bawah kendali TNI. Pada saat itu, tercatat setidaknya 12 kapal Basarnas dari sejumlah pangkalan, kapal TNI AL, dan Polisi Air langsung bergerak. Dari udara, pesawat dan 2 helikopter milik TNI AU serta 2 helikopter Basarnas bergerak menuju titik hilangnya pesawat AirAsia.
Menurut Soelistyo, bersamaan dengan kekuatan SAR yang mulai bergerak, pusat komando di Jakarta pun menyusun pemetaan wilayah pencarian beserta instruksi bagi petugas SAR di lapangan. Mereka langsung bekerja untuk mencari petunjuk terkait hilangnya pesawat tersebut. Hasil pencarian kemudian menjadi bahan evaluasi pencarian hari berikutnya.
”Begitu data awal disampaikan oleh ATC (Pengawas Lalu Lintas Udara) Bandara Soekarno-Hatta, kemudian informasi radar diberikan, misalnya kapan pesawat itu hilang kontak dan berapa ketinggiannya saat itu, saya sudah yakin ini (hilang) di laut,” kata Soelistyo.
Oleh karena itu, sembari menunggu kekuatan SAR sampai di lokasi yang diduga menjadi tempat hilangnya pesawat, Basarnas juga menyampaikan maklumat pelayaran kepada semua kapal yang lewat tentang hilangnya pesawat tersebut. Dengan itu, kapal yang menemukan petunjuk terkait hilangnya pesawat itu wajib melapor melalui stasiun radio pantai.
Dia mengatakan, informasi sekecil apa pun yang beredar di masyarakat ataupun temuan tim SAR di lapangan pada awal pencarian menjadi sangat penting. Temuan itu bisa menjadi petunjuk keberadaan pesawat. Namun, bukan tidak mungkin informasi itu tidak berhubungan dengan peristiwa hilangnya pesawat atau sebaliknya malah menyesatkan.
”Contohnya, hari kedua pencarian, ada laporan yang beredar di masyarakat, seperti menemukan sinyal darurat di titik ini, kemudian sinyal yang sama di titik lain pada waktu berbeda, hingga berita ada penumpang yang selamat. Kalau tidak cepat menganalisis benar tidaknya informasi tersebut, kami bisa salah melangkah,” tutur Soelistyo.
Keluarga korban
Bagi Soelistyo, dalam konteks musibah, yang sebenarnya sangat berkepentingan atau berharap pada keberhasilan operasi SAR adalah keluarga korban. Karena itu, dia harus menempatkan segala upayanya hanya untuk memenuhi harapan keluarga korban.
”Saya menempatkan diri sebagai keluarga korban sehingga apa yang mereka harapkan saya tahu persis. Meskipun saya tahu risiko hilangnya pesawat itu apa, saya tetap harus berusaha memenuhi harapan mereka,” ungkapnya.