Kursi Panas Jabatan Kapolri Saat Rezim Berganti
abatan Kapolri selalu menjadi pertaruhan saat akan bergantinya rezim atau setelah begantinya rezim pemerintahan.
Penulis: Adi Suhendi
Editor: Gusti Sawabi
Lapora wartawan tribunnews.com : Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Jabatan Kapolri selalu menjadi pertaruhan saat akan bergantinya rezim atau setelah begantinya rezim pemerintahan. Apalagi berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, jabatan Kapolri menjadi hak prerogratif presiden sehingga kapan pun presiden bisa mengganti Kapolri tanpa harus menunggu masa pensiun.
Pada masa transisi setelah runtuhnya rezim orde baru, institusi Polri memasuki sejarah baru saat itu berdasarkan instruksi presiden Nomor 2 Tahun 1999 sistem penyelenggaraan kekuatan dan operasional Polri dialihkan ke Departemen Pertahanan dan Keamanan. Hal tersebut dilakukan untuk mengisi masa transisi dalam rangka menuju Polri yang mandiri. Baru berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89 Tahun 2000 yang ditanda tangan pada 1 Juli 2000 Polri akhirnya menjadi organisasi yang otonom dibawah presiden langsung dan Kapolri selaku pimpinan tertinggi korps Bhayangkara bertanggungjawab kepada presiden.
Pada masa itu presiden Abdurrahman Wahid sedang berkuasa dengan wakil presiden saat itu Megawati Soekarnoputri. Gus dur sebelumnya mengangkat Jendral Polisi Rusdihardjo sebagai Kapolri. Satu tahun kemudian Komjen Pol Suryo Bimantoro yang saat itu menjabat sebagai Wakapolri dilantik menjadi Kapolri pada 18 September 2000 menggantikan Jendral Polisi Rusdihardjo.
Rusdihardjo saat itu belum memasuki masa pensiun, tetapi presiden saat itu Abdurrahman Wahid memberhentikan Rusdihardjo dengan alasan dianggap tidak mampu menyelesaikan konflik di beberapa wilayah dan dianggap gagal dalam menterjemahkan permintaan presiden untuk menangkap Tommy Soeharto yang diduga terkait dengan berbagai kasus pengeboman.
Hampir genap satu tahun menjabat sebagai Kapolri tiba-tiba Abdurahman Wahid saat itu selaku presiden mengangkat Komjen Pol Chairudin Ismail sebagai pejabat pelaksana Kapolri pada 2 Juni 2001 melalui Keppres Nomor 41 Tahun 2001 menggantikan Bimantoro. Meskipun sudah dilantik sebagai Kapolri, Chaerudin Ismail tidak serta merta menjadi pejabat pelaksana Kapolri karena pengangkatannya menyisakan polemik.
Bimantoro melakukan perlawanan atas keputusan tersebut dengan menggalang dukungan dari sejumlah jendral di lingkungan Polri yang dibuktikan pengumpulan tanda tangan terhadap Bimantoro. Meskipun demikian pengangkatan Chairudin Ismail tetap sah karena belum ada pengesahan undang-undang kepolisian yang baru saat itu sehingga Undang-undang Kepolisian Nomor 28 Tahun 1997 saat itu tetap berlaku.
Pada saat gonjang-ganjing pimpinan Polri saat itu Presiden Abdurrahman Wahid bersiteru dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena menyeret kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia ke pusaran politik. Akhirnya Abdurrahman Wahid pun dilengserkan dari kursi presiden dan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden ke 5.
Megawati selaku presiden saat itu mengaktifkan kembali Keppres Nomor 67 tentang pengangkatan Bimantoro sebagai Kapolri pada tanggal 31 Juli 2001. Bimantoro pun kembali menjabat Kapolri hingga memasuki masa pensiun.
Era Megawati Soekarno Putri, setelah Bimantoro memasuki masa pensiun dilantiklah Jendral Polisi Da'i Bachtiar sebagai Kapolri pada 28 November 2001. Da'i duduk di kursi Kapolri cukup lama sekitar 4 tahun 4 bulan hingga bergantinya rezim dari rezim Megawati ke rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Setelah Pemilu 2004, saat itu SBY menjadi presiden. Pada 9 Juli 2005 jabatan Kapolri yang sebelumnya dipegang Da'i digantikan Jendral Sutanto. Meskipun Da'i pada saat itu masih berstatus sebagai polisi aktif untuk 1,5 tahun berikutnya, tetapi presiden SBY saat itu menganggap pengabdian Da'i sudah cukup sebagai Kapolri. Akhirnya SBY pun mengajukan Sutanto sebagai Kapolri. Jendral Polisi Sutanto pun menyelesaikan masa jabatannya sebagai Kapolri hingga pensiun. Sempat bergulir isu saat itu Sutanto akan diperpanjang masa jabatannya sebagai Kapolri dengan alasan keamanan negara karena akan menghadapi Pemilu 2009. Tetapi akhirnya SBY pun memutuskan mengganti Sutanto yang sudah memasuki masa pensiun.
Setelah jendral Polisi Sutanto, kemudian jabatan Kapolri dipegang Jendral Polisi Bambang Hendarso Danuri (BHD) pada 1 Oktober 2008. BHD saat itu mampu membawa institusi Polri dalam mengamankan Pemilu 2009 yang ditandai dengan terpilihnya kembali SBY-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden. Jabatan BHD sebagai Kapolri pun tuntas hingga dirinya pensiun dan menyerahkan jabatan Kapolri pada 22 Oktober 2010 kepada Jendral Polisi Timur Pradopo.
SBY mengajukan nama Timur Pradopo kepada DPR RI setelah Timur menduduki jabatan jendral polisi bintang tiga. Timur Pradopo yang menyalip jendral bintang tiga lainnya dalam waktu sekejap di tengah memanasnya bursa calon Kapolri. Timur yang saat itu menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya langsung diangkat menjadi Kepala Badan Permelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri dan disematkan bintang tiga dipundaknya. Tidak sampai hitungan hari nama Timur diajukan SBY kepada DPR sebagai calon Kapolri sampai akhirnya dilantik pada 22 Oktober 2010.
Menjelang Pemilu 2014, Presiden SBY mempercepat pergantian Kapolri sehingga Timur Pradopo yang masih berstatus polisi aktif selama tiga bulan lagi diberhentikan dan diganti Jendral Polisi Sutarman pada 25 Oktober 2014. Alasan percepatan pergantian Kapolri saat itu dalam rangka menghadapi pengamanan Pemilu dan Pilpres 2014 yang diprediksi akan panas. Sehingga supaya Polri lebih siap SBY memutuskan mempercepat pergantian Kapolri.
Polri pun dianggap berhasil mengamankan Pemilu dibawah kepemimpinan Sutarman yang ditandai dengan dilantiknya Joko Widodo sebagai presiden pada 20 Oktober 2014. Rezim pemerintahan pun berpindah dari SBY kepada Jokowi.
Pada rezim baru Jokowi, institusi Polri kembali bergejolak dengan ditandai diajukannya nama calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan kepada DPR RI oleh presiden padahal Sutarman masih menyandang status polisi aktif hingga Oktober 2015.
Tetapi langkah Budi Gunawan pun terhadang proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bertepatan Komisi III DPR RI akan bertandang ke rumah jendral polisi bintang tiga tersebut, KPK mengumumkan status tersangka Budi Gunawan atas dugaan gratifikasi hasil dari penelusuran rekening mencurigakan yang selama ini menjadi bahan pembicaraan.
Meskipun demikian DPR tetap menyetuji Budi Gunawan dan menyerahkannya kembali kepada Jokowi. Mendapat persetujuan DPR RI, Jokowi tidak langsung melantik Kalemdipol Polri tersebut sebagai Kapolri tetapi ditangguhkan. Tetapi Sutarman tetap diberhentikan sebagai Kapolri, dan untuk mengisi kekosongan Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti dipercaya Jokowi menjadi Pelaksana Tugas Kapolri hingga waktu yang tidak ditentukan.
Apa pun yang terjadi dengan jabatan Kapolri, segala sesuatunya ada di tangan presiden karena berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tetang Polri. Pengangkatan dan Pemeberhentian Kapolri menjadi hak prerogratif presiden. (Berbagai sumber)