Contoh-contoh Aksi Cepat Jokowi pada 100 Hari Pertama Tapi Tenggelam Oleh Persoalan Hukum
Gerak Cepat Jokowi sepanjang 100 hari usia pemerintahannya dinilai belum cukup mampu menjawab tuntutan publik.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Berbagai upaya yang dilakukan Presiden Joko Widodo sepanjang 100 hari usia pemerintahannya dinilai belum cukup mampu menjawab tuntutan publik.
Rentang ekspektasi dan apresiasi publik masih lebar berjarak. Dalam kurun waktu penilaian yang sama, tidak tampak perbedaan popularitas yang signifikan antara Presiden Joko Widodo dan beberapa presiden pendahulunya.
Gerak cepat yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo sejak dinyatakan sebagai pemenang Pemilu Presiden 2014 semula mampu menyedot perhatian publik. Sebelum dilantik, ia bahkan sudah berupaya menjemput pekerjaan yang akan dialihkan dari kabinet pemerintahan sebelumnya.
Sesaat setelah dilantik, sejumlah kebijakan krusial juga cepat diputuskan Jokowi. Penentuan harga bahan bakar minyak, misalnya, yang pada era sebelumnya menjadi perdebatan panjang, kali ini cepat diputuskan kenaikan harganya. Namun, beberapa saat setelah terjadi perubahan harga minyak dunia, cepat pula diputuskan penurunan harga bahan bakar minyak.
Sejumlah sosok menteri yang dipilih Jokowi pun mencoba mengikuti ritme dan kebiasaannya bertindak cepat. Alhasil, berbagai pemandangan aksi pejabat pemerintahan yang tidak biasa dilakukan pada era pemerintahan sebelumnya dipertontonkan.
Aksi penenggelaman perahu nelayan asing, pembatasan penggunaan hotel bagi rapat instansi pemerintahan, penghentian penerapan kurikulum pendidikan 2013, serta eksekusi bagi terpidana mati perkara narkoba menjadi sentral pemberitaan media dan pembicaraan publik.
Hampir semua aksi cepat pemerintahan lebih banyak mendapat apresiasi positif dari publik. Tidak heran lebih banyak anggota masyarakat yang menyatakan kepuasan terhadap kinerja pemerintahan dibandingkan dengan yang merasa tidak puas.
Hasil pengumpulan opini publik Kompas menunjukkan kesimpulan semacam itu. Baik di bidang perekonomian, kesejahteraan sosial, politik dan keamanan, maupun beberapa persoalan penegakan hukum dinilai masih positif. Bahkan, sekalipun hasil survei terakhir menunjukkan ada tekanan terhadap persoalan penegakan hukum—sejalan dengan kasus yang melibatkan Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi—yang berlangsung dalam minggu-minggu terakhir ini, citra kepemimpinan Presiden Jokowi dan kabinetnya masih positif.
Namun, jika dicermati, sejumlah pencapaian itu sebenarnya masih jauh dari harapan publik terhadap pemerintahan saat ini. Dengan membandingkan antara segenap apresiasi positif masyarakat dan ekspektasi mereka terhadap kemampuan pemerintahan dalam menyelesaikan berbagai persoalan di segenap bidang permasalahan, masih tampak marjin jarak yang lebar.
Sedikitnya rentang jarak di antara ekspektasi dan apresiasi publik hingga 20 persen, suatu jarak perbedaan yang tergolong besar.
Sebagai gambaran, tak kurang dari 57 persen publik menyatakan rasa puas terhadap upaya pemerintah dalam mengatasi persoalan kesejahteraan sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan, ataupun upaya mengurangi kemiskinan. Sebaliknya, hanya 37 persen yang menyatakan tidak puas terhadap upaya pemerintah dalam mengatasi persoalan kesejahteraan.
Apresiasi yang tinggi itu tidak serta-merta dibaca selalu jadi sisi positif. Sebab, apabila dibandingkan dengan ekspektasi publik yang sama terhadap kemampuan pemerintah dalam mengatasi persoalan kesejahteraan, hasil itu tampak masih lebih rendah.
Ekspektasi publik terhadap kemampuan pemerintah dalam mengatasi persoalan kesejahteraan mencapai 78 persen. Masih ada selisih sekitar 21 persen yang menunjukkan ada harapan yang belum terwujud. Kondisi ini juga terjadi pada persoalan politik dan keamanan, perekonomian, serta penegakan hukum.
Arah popularitas
Di sisi yang lain, apa yang menjadi pencapaian pemerintahan saat ini di mata publik dipandang tidak banyak berbeda dengan era pemerintahan sebelumnya.
Gerak cepat dan berbagai kebijakan kabinet dalam 100 hari terakhir belum mampu menciptakan pola kinerja baru yang dianggap spektakuler oleh bagian terbesar publik. Jarak antara ekspektasi dan apresiasi publik terhadap pemerintahan dalam banyak hal masih relatif sama seperti yang berlangsung pada era pemerintahan sebelumnya.
Pencermatan terhadap seluruh survei opini publik yang dilakukan Kompas terhadap kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, ataupun dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono juga menunjukkan tingginya ekspektasi publik terhadap setiap sosok presiden itu.
Sepanjang 100 hari pertama jalannya pemerintahan, keyakinan publik terhadap kemampuan setiap sosok presiden dalam mengatasi persoalan bangsa sangat tinggi, di atas 70 persen. Namun, tingginya ekspektasi publik itu tidak diikuti tingginya kepuasan mereka terhadap kinerja pemerintah. Jarak yang terentang antara ekspektasi dan apresiasi publik pun lebar, di atas 20 persen. Dengan kondisi ini, tidak tampak perbedaan signifikan antara yang terjadi pada pemerintahan saat ini dan pemerintahan sebelumnya sepanjang 100 hari pertama jalannya pemerintahan.
Kondisi dan pola dukungan yang berbeda bisa jadi akan berlangsung setelah melampaui masa tiga bulan pemerintahan. Apakah dukungan atau popularitas Presiden Jokowi akan meningkat, stagnan, atau justru menurun bergantung pada kemampuan Presiden bersama segenap kabinet dalam meraih simpati publik. Sejauh ini, belum ada presiden yang dalam masa pemerintahannya mampu meningkatkan dukungan publik secara konsisten. Berdasarkan apa yang berlangsung pada periode kepemimpinan presiden sebelumnya, tekanan terhadap dukungan berlangsung sangat dinamis dan membentuk beberapa arah gerak popularitas yang berbeda-beda.
Sosok kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, misalnya, juga mendapatkan apresiasi tinggi pada awal masa 100 hari kepemimpinan mereka. Namun, berlalunya waktu, kepuasan publik terus-menerus merosot. Keyakinan publik terhadap kemampuan pemerintah pun meluruh. Pada pengujung kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid, hasil survei menunjukkan lebih banyak publik yang menyatakan kekecewaan dibandingkan dengan sebaliknya.
Terhadap kepemimpinan Presiden Megawati, pada masa-masa akhir usia pemerintahannya cenderung menunjukkan ada peningkatan popularitas. Namun, akhirnya, juga lebih banyak anggota masyarakat yang menyatakan ketidakpuasan ketimbang sebaliknya. Kondisi itu pula yang membuatnya gagal meneruskan takhta pemerintahan, tergantikan oleh sosok Presiden Yudhoyono.
Apa yang berlangsung pada pola dukungan terhadap Presiden Yudhoyono berbeda dengan kedua pendahulunya. Presiden Yudhoyono, seperti juga yang terjadi pada rekaman dukungan publik Amerika Serikat terhadap Presiden Ronald Reagan (1981-1989) dan Bill Clinton (1993-2001) ataupun Presiden Filipina Fidel Ramos (1992-1998), tergolong berhasil menjaga arah dukungan publik.
Selepas 100 hari usia pemerintahannya, kecenderungan merosotnya popularitas juga berlangsung. Jarak antara ekspektasi dan apresiasi pun melebar. Namun, seperti Reagan, Clinton, dan Ramos, ia mampu membalikkan situasi dari keterpurukan dukungan. Tidak menjadi jauh lebih baik memang, tetapi setidaknya saat mengakhiri dua periode pemerintahannya, Yudhoyono dinilai publik mampu mempertahankan citra positif yang terbentuk sebagaimana ia memulai pemerintahan. (Litbang Kompas/ Bestian Nainggolan)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.