Ada 9 Alasan Uang Rakyat Rp 1 Triliun untuk Jatah Parpol Harus Ditolak
Ada sembilan alasan wacana Mendagri yang juga politisi dari PDI Perjuangan itu harus ditolak
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menolak dan menuntut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengurungkan niatnya mengeluarkan kebijakan pemberian dana APBN Rp 1 triliun per tahun kepada partai politik (parpol).
Ada sembilan alasan wacana Mendagri yang juga politisi dari PDI Perjuangan itu harus ditolak, di antaranya justru berpotensi bentuk korupsi baru, buat orang parpol malas bekerja dan masyarakat tengah menderita dengan naiknya harga barang-barang kebutuhan.
"Jika tidak, hal ini akan sangat meresahkan di tengah harga bahan pokok yang tinggi dan harga beras yang tidak terjangkau oleh rakyat," ujar Koordinator Advokasi dan Investigasi FITRA, Apung Widadi dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com, Selasa (10/3/2015).
Alasan pertama, parpol belum mempunyai perangkat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana dari APBN. Hasil riset FITRA menunjukkan, bahwa penggunaan bantuan keuangan parpol pada 2010 tidak transparan dan tidak akuntabel setiap tahunnya.
Hal itu disebabkan karena bendahara papol biasanya hanya berfungsi sebagai “kasir” mengingat tanpa pencatatan keuangan yang jelas, laporan penggunaan keuangan dari APBN tidak sesuai dengan peruntukan, pencatatan keuangan parpol masih bersifat tradisional seperti “Tukang Sate” dan belum sesuai standar Permendagri atau Kantor Akuntan Publik.
Kedua, karena wacana alokasi tanpa perhitungan kursi justru membuat partai malas bekerja untuk rakyat. Rencana pukul rata dengan pemberian jatah Rp 1 triliun ke setiap parpol bertentangan dengan prinsip ketidakadilan perolehan suara.
Selain itu, hal ini dapat menjadikan parpol malas bekerja untuk rakyat. "Toh, setiap tahun mendapat alokasi anggaran dari APBN. Hal ini juga akan memicu lahirnya partai baru yang lebih pragmatis hanya sebagai penadah bantuan keuangan parpol dari APBN," kata Apung.
Ketiga, oligharki parpol di Indonesia saat ini masih kuat, tanpa demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas tidak akan terbangun. Wacana Mendagri itu tidak meminimalisir korupsi. Sebab, mekanisme kerja, pencatatan keuangan dan mekanisme audit secara internal pun tidak dimiliki oleh parpol.
Keempat, jatah Rp 1 triliun dana APBN untuk parpol tidak Sesuai dengan pendekatan anggaran berbasis kinerja sebagaimana UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sebab, kinerja parpol masih buruk.
Kelima, jatah Rp 1 triliun dana dari APBN ke setiap partai itu justru berpotensi menjadi bentuk korupsi baru.
Keenam, wacana Mendagri ini sangat menyakitkan rakyat. Sebab, saat ini masyarakat tengah menderita dengan krisis pangan dan tingginya harga kebutuhan seperti beras.
Apung mencontohkan, dengan adanya 10 parpol di parlemen saat ini, maka ada Rp 10 dana APBN untuk parpol setiap tahunnya. Padahal, dalam APBN 2015, Kementrian Pertanian mengalokasikan anggaran untuk cadangan beras pemerintah hanya sebesar Rp 1,5 triliun, cadangan stabilisasi pangan hanya Rp 2 triliun dan tidak ada alokasi anggaran untuk cadangan stabilitas pangan.
Ketujuh, dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan saat BPK melakukan audit penggunaan dana Rp 1 triliun untuk parpol itu. Sebab, beberapa anggota BPK berlatarbelakang orang partai politik.
Kedelapan, wacana ini akan memancing pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang sama dengan menaikan anggaran bantuan sehingga semakin memiskinkan keuangan daerah.
Alasan kesembilan, lemahnya penegakkan hukum setelah tersangka menggugat penetapan tersangka dari KPK dan beberapa pejabat KPK dipidanakan, berakibat makin tingginya potensi terjadinya korupsi.
Menurut Apung, saat ini perilaku politisi yang tersangkut korupsi semakin "menggila" dengan melakukan proses praperadilan proses hukum KPK.