Bahaya Esek-esek Online Sama dengan Narkoba, Pemerintah Harus Cepat Bertindak
Pemerintah diminta merespons cepat dan tepat dalam menyikapi ancaman yang muncul dari bisnis prostitusi melalui online atau media sosial.
Editor: Gusti Sawabi
Tribunnews.com, Jakarta - Pemerintah diminta merespons cepat dan tepat dalam menyikapi ancaman yang muncul dari bisnis prostitusi melalui online atau media sosial.
Bisnis hitam ini terus berkembang di Indonesia dan dianggap sama membahayakannya seperti peredaran narkoba.
"Penyalahgunaan media sosial untuk jasa layanan esek-esek nilai bahayanya tidak kalah dengan narkoba," kata Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, di Jakarta, Jumat (24/4/2015).
Mahfudz menuturkan, bahaya bisnis prostitusi melalui media sosial harus disadari sejalan dengan terungkapnya kasus pembunuhan Deudeuh Alfi Syahrin (26).
Magfudz mendesak Polri untuk lebih serius dalam menindak otak bisnis prostitusi online serta juga meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir semua layanan online yang menawarkan bisnis prostitusi.
Politisi PKS itu melanjutkan, kasus kematian Alfi ikut membongkar fakta tersembunyi tentang masifnya jasa layanan seks melalui media sosial. Ia memfokuskan perhatian pada banyaknya gadis remaja dan di bawah umur yang menjadi bagian, atau menjadi korban dari bisnis ilegal itu.
"Polri harus serius menegakkan hukum, Kemenkominfo juga punya tanggung jawab dalam membangun budaya internet sehat. Kedua institusi pemerintah ini tidak boleh lalai," ujarnya.
Selain itu, Mahfudz juga meminta media massa untuk berhati-hati dalam mengemas pemberitaan mengenai bisnis prostitusi online. Kesalahan dalam mengemas berita, kata Mahfudz, justru akan membuka informasi pada masyarakat luas untuk mengakses jasa-jasa tersebut.
"Karena informasi tentang fakta ini juga bisa berdampak negatif," ucapnya.
Secara terpisah, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agatha Lily, menuturkan bahwa KPI menemukan sejumlah muatan yang tidak etis untuk diberitakan terkait praktik prostitusi online. Dalam hal ini, KPI mendorong agar pemberitaan mengenai bisnis prostitusi tidak disiarkan terlalu detail.
"Bahkan terdapat media yang menampilkan contoh pemasaran PSK melalui media sosial dengan kata-kata yang sangat vulgar," ucap Agatha.
Ia mengaku memahami fungsi media massa dalam melakukan kontrol sosial. Tetapi untuk pemberitaan kasus prostitusi, Agatha berharap media massa dapat lebih mengemasnya secara bijaksana. Selain itu, masyarakat juga ia dorong untuk ikut mengawasi konsumsi tayangan media massa minimal dalam keluarganya sendiri.
"Mengupas praktik prostitusi secara detail dapat menyebabkan masyarakat mencontoh perilaku yang tidak baik," ungkapnya.
(Indra Akuntono)