Lima ABK WNI Tewas Akibat Malnutrisi, BNP2TKI Jangan Cuma Jadi 'Damkar'
BNP2TKI harus lebih aktif dan responsif dalam mengawasi seluruh tenaga kerja di luar negeri
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tewasnya lima orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja menjadi Anak Buah Kapal (ABK) di dua kapal ikan milik perusahaan Chi Hsiang Fishery Co, Ltd asal Taiwan, akibat malnutrisi dan dehidrasi akut menambah derita para Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Luar Negeri.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra yang membidangi masalah ketenagakerjaan, Roberth Rouw meminta pemerintah dalam hal ini Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk lebih aktif dan responsif dalam menangani masalah-masalah yang terjadi terhadap para TKI di Luar Negeri.
"BNP2TKI harus lebih aktif dan responsif dalam mengawasi seluruh tenaga kerja di luar negeri, jadi jangan hanya terkesan memberikan izin dan menyalurkan tenaga kerja ke luar negeri saja lalu muncul di ujung setelah ada permasalahan seperti halnya petugas damkar (pemadam kebakaran)," kata Roberth di Jakarta, Senin (8/6/2015).
Apalagi lanjut Roberth, berdasarkan informasi yang dikeluarkan Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Kementerian Luar Negeri RI melalui KBRI Dakar usai bertemu para ABK WNI lainnya menjelaskan bahwa para ABK WNI tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja. Bahkan mereka juga tidak diberikan makanan dan minuman yang layak oleh sang kapten kapal.
"Bahkan infonya, makanan dan minuman yang tersedia di atas kapal hanyalah ikan yang telah dihancurkan sebagai umpan menangkap ikan. Sementara air yang tersedia, berbau solar karena dialirkan melalui selang yang digunakan untuk memindahkan bahan bakar solar," ujar Roberth.
Karena itu, Roberth yang juga merupakan Ketua Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Terampil DPP Partai Gerindra ini meminta kepada BNP2TKI untuk lebih selektif lagi memberikan izin terhadap Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia atau Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PJTKI/PPTKIS) yang tidak menjamin keselamatan dan pemberian hak dari para TKI di Luar Negeri.
"Kalau perlu BNP2TKI harus memberikan sanksi kepada PJTKI/PPTKIS yang telah menyalurkan kelima ABK WNI yang tewas tersebut. Sehingga kedepannya seluruh PJTKI/PPTKIS memiliki tanggung jawab penuh dan tidak hanya menyalurkan atau mengirim TKI ke luar negeri saja tapi juga ikut melindungi para TKI di tempat kerjanya," ujarnya.
"Bahkan saya juga meminta kepada pemerintah untuk menuntut perusahaan tempat kelima ABK WNI yang tewas tersebut bekerja dengan memenuhi seluruh hak-hak para ABK WNI tersebut," katanya.
Kelima jenazah ABK WNI tersebut adalah Rasjo Lamtoro asal Tegal - Jawa Tengah yang diberangkatkan oleh PT Anugerah Bahari Pasifik - Pemalang, Sardi asal Brebes - Jawa Tengah yang diberangkatkan oleh PT Sumber Putera Abadi - Pemalang, Roko Bayu Anggoro asal Gunung Kidul - Yogyakarta yang diberangkatkan oleh PT Sumber Putera Abadi - Pemalang, Ruhiyatna Nopiyansyah asal Subang - Jawa Barat yang diberangkatkan oleh PT Arrion Mitra Bersama - Bekasi, dan Hero Edmond Lusikooy asal Surabaya - Jawa Timur yang diberangktkan oleh PT Puncak Jaya Samudera.
Kelima ABK WNI itu bekerja di dua kapal ikan milik perusahaan Chi Hsiang Fishery Co, Ltd asal Taiwan, yaitu Bintang Samudra 68 dan Bintang Samudra 11. Kelimanya meninggal dunia di atas kedua kapal tersebut dalam waktu berdekatan, yaitu tanggal 23 April, 25 April, 27 April, 29 April, dan 3 Mei 2015, namun peristiwa tersebut baru dilaporkan kepada KBRI Dakar dan otoritas terkait lainnya di Senegal pada saat kapal berlabuh di Pelabuhan Dakar pada tanggal 7 Mei 2015.
Berdasarkan otopsi yang dilakukan oleh dokter forensik di Dantec Public Hospital, Dakar, dinyatakan bahwa penyebab meninggalnya kelima ABK WNI tersebut adalah malnutrisi dan dehidrasi akut.