PDIP Ingatkan Jokowi untuk Tidak Meniru Gaya Orde Baru
Saya yakin, Indonesia saat ini sudah berubah menjadi negara yang sangat demokratis sehingga sah-sah saja mengajukan saran dan pandangan
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I dari F-PDIP, TB Hasanuddin memberikan alasan perbedaan dengan keputusan Presiden Jokowi yang akhirnya mengusulkan KSAD Gatot Nurmantyo dan bukan KSAU, Marsekal Agus Supriyatna, sebagai calon panglima TNI.
”Saya yakin, Indonesia saat ini sudah berubah menjadi negara yang sangat demokratis sehingga sah-sah saja mengajukan saran dan pandangan, sebagai bagian dari partisipasi dan kewajiban untuk terlibat aktif dalam membangun negara yang lebih baik,” ujar TB Hasanuddin dalam pesan yang dikirimkannya kepada media, Rabu (10/6/2015).
Sebelumnya dia meyakini bahwa Pertama, mengacu pada proses pergantian panglima TNI, maka seharusnya jabatan panglima saat ini diberikan pada KSAU.
Hal ini bisa dilihat dari pengalaman kalau sebelumnya dijabat oleh Laksamana Agus Suhartono kemudian diserahterimakan kepada Jenderal Moeldoko, maka giliran berikutnya adalah kepala staf TNI Angkatan Udara (KSAU) sekarang ini.
Namun nyatanya dari surat Jokowi yang dilayangkan ke DPR diketahui bahwa Jokowi mengirimkan nama KSAD, Gatot Nurmantyo untuk disetujui DPR menjadi Panglima TNI
TB Hasanuddin pun mengingatkan kembali Presiden Jokowi Widodo terkait roh dari pasal 13 ayat 4 UU no 34 tahun 2004 yang menyatakan bahwa jabatan panglima sebagai mana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan adalah sebuah koreksi dari kebiasaan orde baru.
“Di lapangan, tak dihindari tafsir dari kata "bergantian" ini memang mengemuka, apakah misalnya "urut kacang" atau tidak namun yang jelas bergantian. Panglima bergantian bukan tradisi yang diberlakukan oleh presiden SBY saat itu tapi oleh para presiden di era reformasi (presiden Gus Dur, Megawati dan SBY). Pasal “bergantian“ merupakan koreksi terhadap kebiasaan orde baru yang menjabatkan Panglima TNI selama 31 tahun hanya oleh satu angkatan saja, tentu demi kepentingan politik orde baru saat itu.”
Namun demikian menurut Hasanuddin, semua pada akhirnya, sangat tergantung kepada presiden sebagai pemegang hak prerogatif.
"Dan saya yakin, keputusan presiden dalam menggunakan haknya untuk memilih panglima TNI Jenderal TNI Gatot merupakan keputusan yang sudah melalui proses yang cukup panjang, dengan memperhitungkan berbagai aspek, termasuk aspek politik dengan segala resikonya. Dengan demikian, apapun keputusan Presiden kami menghormatinya, karena presiden lah pemiilik hak perogeratif itu,” ujarnya.