Format Sidang MPR Jadikan Jokowi Seperti Mandataris MPR
Irmanputra Sidin mengkritisi format sidang MPR menjelang hari kemerdekaan RI yang ke 70.
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin mengkritisi format sidang MPR menjelang hari kemerdekaan RI yang ke 70.
Format sidang yang digelar dengan basis konvensi dan bukan konstitusi itu dimana presiden melaporkan kinerja seluruh lembaga negara seperti mengembalikan sistem ketatanegaran ke era orde baru.
“Format sidang yang digelar hari ini jelas bukan berbasis konstitusi, tapi hanya konensi. Format seidang MPR ini dimana presiden melaporkan kinerja semua lembaga negara seperti mengembalikan sistem ketatanegaran ke era Orde Baru dimana presiden adalah mandataris MPR,” ujar Irman di Jakarta, Jumat (14/8/2015).
Lembaga negara seperti BPK, MK, MA jelasnya bukan lagi seperti di era Orde Baru. Lembaga-lembaga negara saat ini memiliki basis kewenangannya sendiri.
“Jadi tidak seharusnya presiden yang menyampaikan kinerja lembaga-lembaga negara itu. Jokowi pun dipaksa menerima hal yang seperti ini,” katanya.
Dia pun menyarankan agar format sidang yang seperti ini karena implikasinya mencederai sistem pembagian kekuasaan yang telah dibagi oleh konstitusi seperti eksekutif yang dipimpin presiden, legislatif dengan DPR dan yudikatif ada MA dan MK.
”Dengan format sidang yang seperti ini maka seolah MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan juga presiden sebagai mandataris MPR mau dihidupkan kembali. Ini langkah mundur dan kasihan presiden. Saya harap panggung seperti ini tidak dijadikan kebiasaan,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf.
Menurut Asep, MPR memang bisa menyelenggarakan sebuah forum bersama, tapi seharusnya MPR hanya menyediakan sarana dan prasarananya saja demi memberi saran dan menemukan apa yang menjadi tugas dan kewajiban negara dan pencapaiannya sejauh mana.
Namun tidak seharusnya dalam forum seperti itu presiden memberikan penilaian atas pencapaian masing-masing lembaga negara.
“Substansinya pada lembaga negara masing-masing memberikan laporan langsung ke publik. Jadi bukan presiden yang melaporkan, tapi masing-masing lembaga menyampaikan seluruh hal sesuai visi misinya, apa kendala yang dihadapi dan sudah sejauh mana keberhasilan dicapai. Ujungnya rakyat sendiri yang akan menilai dan bukan presiden,” ujar Asep.
Presiden menurut Asep tidak mempunyai kewenangan untuk menilai lembaga negara lain yang setingkat dengannya.
Jika presiden mandataris MPR seperti di era orde baru, maka boleh saja presiden sebagai kepala negara menyampaikan penilaian pada MPR. Langkah ini akan mengacaukan semua yang sudah dibangun.
”Kalau dulu presiden sebagai mandataris MPR boleh. MPR melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Tapi MPR tidak lagi bisa menjadikan presiden sebagai mandatarisnya. Saya sayangkan presiden sampai tidak tahu hal ini,seharusnya di lingkaran presiden ada yang bisa memberi tahu. Dulu ada Refly Harun, sekarang sejak Refly menjadi komisaris BUMN, Jokowi tidak punyasiapa-siapa lagi untuk ditanyakan segala hal tentang tata negara,” katanya.
Dia pun menegaskan langkah melakukan sidang seperti ini lebih buruk dari sistem mandatari di era orde baru.
”Paling tidak dulu, presiden sebagai mandataris MPR ada payung hukumnya yang membolehkan presiden melaporkan dan menilai lembaga negara lain. Tapi sekarang tidak ada payung hukumnya, tapi presiden seolah menjadi mandataris MPR,” katanya.
Dia pun mengkritisi 3 sidang yang dijalakan oleh Presiden Jokowi hari ini yaitu sidang MPR, DPR dan DPD.Padahal menurutnya sudah beberapa tahun ini sidang DPR dan DPD dilakukan berbarengan.
“Kok yah sekarang di pisah lagi malah ditambah dengan MPR,” katanya.