Hukum Menghina Presiden
Sebenarnya penuangan kembali pasal-pasal itu semula bukan diajukan oleh pemerintahan Joko Widodo.
Editor: Hasanudin Aco
Sebenarnya penuangan kembali pasal-pasal itu semula bukan diajukan oleh pemerintahan Joko Widodo, melainkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Maret 2013. Namun, karena RUU tersebut tak bisa dibahas pada era Presiden SBY, maka sesuai dengan mekanisme pembentukan UU, jika sebuah RUU tak bisa diselesaikan pada satu periode yang sama dengan pengajuannya, RUU tersebut harus diproses atau diajukan kembali oleh pemerintah yang baru. RUU era SBY itulah yang diajukan kembali oleh pemerintah sekarang ini.
Problem konstitusional
Problem konstitusional serius yang kemudian muncul dalam kaitan ini adalah adanya ketentuan menurut Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, harus dilaksanakan tanpa bisa dilawan dengan upaya hukum. Bisakah UU menghidupkan lagi ketentuan yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi? Bagaimana kalau, setelah ditetapkan, kelak dibatalkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi? Apa tidak sebaiknya pembentuk UU mengeluarkan pasal-pasal tersebut dari RUU KUHP baru?
Akan tetapi, pada sisi lain, kita juga tidak ingin ada orang yang seenaknya melakukan penghinaan kepada Presiden atau Wakil Presiden atas nama demokrasi dan hak konstitusional. Kita geram saat melihat penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden secara sarkastis dan kotor.
Dilema antara putusan Mahkamah Konstitusi dan kebrutalan politik inilah yang harus kita diskusikan secara mendalam untuk menemukan jalan keluar.
Moh Mahfud MD
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Hukum Menghina Presiden".