Mahkamah Konstitusi Bisa Kabulkan Gugatan Pembatalan Dana Kampanye
MK nantinya hanya memutuskan apakah anggaran dana kampanye yang dikeluarkan negara sesuai konstitusi dan untuk kepentingan rakyat banyak atau tidak.
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) bisa saja mengabulkan uji materi Pasal 65 Ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada), khususnya soal dana kampanye yang dibiayai negara.
MK nantinya hanya memutuskan apakah anggaran dana kampanye yang dikeluarkan negara sesuai konstitusi dan untuk kepentingan rakyat banyak atau tidak.
“Saya kira, pengeluaran dana kampanye dari APBN dan APBD tidak sepenuhnya untuk kepentingan rakyat banyak. Ini benar-benar hanya untuk kepentingan para calon yang akan maju dalam pilkada,” kata Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jerry Sumampouw kepada wartawan di Jakarta, Kamis (3/9/2015).
Jerry mengatakan, UU Pilkada yang dibuat DPR saat ini memang sangat bias kepentingan politik elite, di mana semua fasilitas kampanye dibiayai negara.
Pertanyaan muncul, apakah pembiayaan negara ini terkait langsung dengan kepentingan rakyat banyak atau tidak?
“Karena jika para kandidat kepala daerah yang terpilih nanti bekerja tidak sesuai keinginan rakyat banyak, maka saya pikir gugatan ini ada benarnya,” katanya.
Jerry mengatakan, ada solusi yang adil yang pernah ditawarkan ke DPR saat pembahasan UU ini, yakni pembatasan pengeluaran dana kampanye. Yang dibatasi, kata dia, adalah biaya kampanye.
“Walaupun semua calon mendapat sumbangan yang banyak, tetapi belanja kampanye untuk kepala daerah tingkat kabupaten/kota dibatasi Rp 1 miliar saja. Ini bertujuan untuk menjamin keadilan para calon dan meminimalisir pengeluaran calon-calon yang banyak duit,” katanya.
Selanjutnya, KPU dan Basawlu melakukan audit belanja dan pendapatan para calon. Jika kemudian hari ditemukan ada pengeluaran yang melewati batas yang ditentukan, maka harus diberi sanksi.
“Sekarang ini kan tidak ada sanksinya,” katanya.
Sementara itu, Vivi Ayunita Kusumandari, kuasa hukum pemohon uji materi Pasal 65 Ayat (2) UU Pilkada ini mengatakan, para pemohon menilai penggunaan dana negara untuk membiayai kampanye pilkada telah melahirkan sebuah proses pemilu yang tidak adil.
Pasalnya, bagi calon petahana sangat jelas mereka telah terkenal di daerahnya. Dengan kampanye dibiayai APBD, maka mereka akan mendapat keuntungan dua kali lipat dari pasangan non-petahana.
“Ini sangat tidak adil untuk calon kepala daeran non-petahana,” katanya.
Vivi lebih jauh mengatakan, masalah yang lebih serius lagi adalah soal kesiapan anggaran pilkada.
Dikatakannya, banyak daerah yang belum menganggarkan biaya pilkada dalam APBD 2015. Akibatnya, kekurangan dana pilkada itu diambil dari pos lain. Ini yang mengakibatkan terganggunya pembangunan di daerah dan merugikan rakyat banyak.
“Ini dibuktikan dengan adanya 10 temuan BPK tentang ketidaksesuaian penggunaan anggaran pilkada,” katanya.
Yang lebih janggal lagi, kata dia, kampanye adalah ajang calon menawarkan visi, misi dan program kepada pemilih.
“Mengapa kegiatan meyakinkan pemilih untuk mendukung yang seharusnya dilakukan oleh pasangan calon dan tim kampanyenya tersebut harus difasilitasi oleh KPU dengan dana APBD? Ini yang tidak adil,” katanya.
Karena itu, Vivi meminta majelis hakim konstitusi untuk mengabulkan permohonan mereka untuk keseluruhannya, menyatakan Pasal 65 Ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945, dan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.