Adhie Sesalkan Pernyataan Faisal Basri Terkait Sistem Pembayaran Listrik
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie M Massardhie menyesalkan komentar ekonom asal Universitas Indonesia Faisal Basri terkait listrik.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Gusti Sawabi
Laporan Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie M Massardhie menyesalkan komentar ekonom asal Universitas Indonesia Faisal Basri terkait sistem pembayaran listrik. Dia bahkan menyarankan Faisal menghitung kembali atas komentar yang disampaikannya mengenai sistem prabayar PLN atau yang biasa dikenal dengan pulsa token listrik.
"Saya sarankan Faisal Basri kembali menghitung lagi sistem prabayar PLN buat kepentingan rakyat," kata Adhie di Jakarta, Kamis (10/9/2015)
Menurut mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid itu, pesan yang disampaikan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli adalah pesan moral kepada penyelenggara negara yang berhubungan langsung dengan rakyat. Intinya menteri Rizal tidak ingin jika hitung-hitungan pembayaran yang ditetapkan oleh penyelenggara negara seperti PLN tidak merugikan dan membebani rakyat.
"Menteri RR mau semua penyelenggara negara yang berurusan dengan publik menghitung cermat, apapun itu, jangan jadi beban rakyat," kata Adhie.
Menurut Adhie, kritik yang disampaikan menteri Rizal soal adanya setengah mafia dan kejamnya provider di PLN merupakan salah satu kasus yang ingin ditekankan Rizal bahwa publik jangan dijadikan saran untuk mencari keuntungan, apalagi untuk dkorupsi.
Menurut pandangan Adhie sendiri, mafia yang bercokol di tubuh PLN berkaitan sistem pulsa token listrik itu diduga kuat melakukan bancakan yang jumlahnya cukup banyak saat uang administrasi pulsa listrik masuk ke bank. Adhie menduga kuat jiika bunga dari uang admin token listrik yang masuk ke bank kemudian dibagi-bagi oleh mafia tersebut.
"Faisal Basri jangan ikut-ikutan bela mafia lah," tegas Adhie.
Sebelumnya, Faisal menduga pernyataan menteri Rizal keliru mengenai adanya provider setengah mafia di tubuh PLN. Faisal mengklaim telah menghitung, dengan asumsi harga atau tarif listrik prabayar untuk pelanggan golongan rumah tangga R1 dengan daya 1.300 volt ampere (VA), yang sebesar Rp 1.352 per kilowatt hour (kWh).
Dari perhitungan mantan Ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi ini, jika pelanggan golongan R1-1.300 VA membeli token (prabayar) Rp 100.000, maka pelanggan tersebut akan menerima 70 kWh atau hanya lebih rendah 5,3 persen, dan bukan 27 persen sebagaimana disampaikan Rizal Ramli.
Jumlah kWh yang didapat pelanggan sebesar 70 kWh tersebut, jika dinominalkan, maka sama dengan Rp 94.726. Dengan kata lain, pelanggan yang membeli pulsa listrik Rp 100.000 akan mendapatkan token senilai Rp 94.726 atau hanya susut 5,3 persen.
Faisal menjelaskan, penyusutan tersebut terjadi karena adanya biaya administrasi yang harus dibayar pelanggan serta Pajak Penerangan Jalan (PPJ).
Perhitungan Faisal menggunakan asumsi bahwa pelanggan membeli pulsa listrik melalui layanan perbankan BCA dengan biaya administrasi sebesar Rp 3.000. Adapun PPJ yang dibayarkan menggunakan standar Jakarta sebesar 2,4 persen dari jumlah kWh yang dibayar.
Namun, Faisal juga mempertanyakan mengapa para pejabat terkait yang hadir saat itu tidak mengoreksi pernyataan Rizal tersebut. "Anehnya, mengapa Dirjen Kelistrikan dan Dirut PLN yang hadir pada pertemuan dengan Pak Menko diam saja?" kata Faisal.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.