Sulit Tentukan Posisi Indonesia di Dunia Jika Konsolidasi Tidak Kunjung Selesai
Saat ini banyak orang bertanya, bagaimana sebenarnya politik luar negeri Indonesia
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi DPR berpendapat Indonesia harus mulai membangun kemitraan strategis secara rill dengan aktor-aktor kekuatan dunia yang juga rill. Kemitraan strategis yang dibangun itu juga harus konkret.
"Saat ini banyak orang bertanya, bagaimana sebenarnya politik luar negeri Indonesia dengan Amerika Serikat dan Tiongkok. Tanpa adanya kejelasan mengenai apa yang dimaui, tentu membingungkan pelaku ekonomi dan politik," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq di Jakarta, Kamis (12/11/2015).
Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga harus paham betul peta politik yang sedang terjadi. Sebab bila tidak, maka Indonesia hanya akan menjadi aktor pendukung yang dipaksa untuk memainkan peran yang diatur oleh negara lain.
"Kalau kita melihat peta konflik dunia, ada dua pola yang mempengaruhi kita. Yang pertama adalah konflik di Timur Tengah yang basisnya separatis, etnis dan konflik Suni-Syiah," ujarnya.
Sedangkan yang kedua adalah konflik Tiongkok - AS di Laut Tiongkok Selatan. Dalam konflik itu, ada aliansi kekuatan AS, Jepang, Taiwan. Sementara, posisi Indonesia ada di tengah dan akan saling bersilangan.
"Bila tidak punya pemahaman dan pandangan yang jelas, Indonesia akan terombang-ambing seperti botol kosong di lautan. Padahal, Indonesia biaa menggunakan kekuatan regional seperti ASEAN," katanya.
Namun sayangnya, sebagai kekuatan alternatif, sikap ASEAN terpecah dan tidak solid. Selain itu, Indonesia juga tidak dalam posisi memimpin.
"Posisi Indonesia tertinggal dari Malaysia, Thailand dan bahkan sebentar lagi ketinggalan dari Vietnam. Beberapa negara ASEAN sudah lebih dulu mengembangkan pola kerjasama regional baru di luar ASEAN," ujarnya.
Hal itu membuat ASEAN semakin sulit dijadikan sebagai basis kekuatan regional bagi Indonesia.
Sementara jika mau tetap berdiri sendiri, maka Indonesia tidak akan kuat.Indonesia pun menurutnya kini harus memikirkan untuk memikirkan kembali kemitraannya di ASEAN.
Karena kalau tidak Indonesia akan ketinggalan karena sebagian anggota ASEAN juga masuk TPP.
"Kalau mau berdiri sendiri tanpa kekuatan regional seperti ASEAN, posisi Indonesia lemah.ASEAN sendiri tidak kompak. Jadi kita harus memikirkan kembali posisi kemitraan dengan ASEAN. Indonesia sudah harus memikirkan kebijakan luar negeri yang baru,” tegasnya.
Selain itu posisi Indonesia yang secara ekonomi masih sangat tergantung pada Yuan Tiongkok dan Dolar AS dan ketergantungan kita pada pada minyak dunia yang artinya sangat tergantung pada situasi di Timur Tengah akan membuat posisi Indonesia rentan.
”Belum lagi posisi Indonesia yang strategis yang banyak memiliki sumber pangan dan energi, kalau kebijakan kita tidak jelas, Indonesia hanya akan jadi bancakan banyak negara nantinya,” katanya.
Sehingga, ucapnya, bila ASEAN tidak bisa dijadikan pijakan regional, Indonesia bisa membuat kebijakan politik luar negeri yang baru. Namun sayangnya, kebijakan politik Indonesia belum jelas.
"Kalau Indonesia sebagai negara tidak punya garis kebijakan politik luar negeri yang jelas, nanti kita akan habis dan jadi bancakan. Apalagi bila ditarik 20 tahun ke depan, dimana konflik utama adalah perebutan sumber daya ekonomi, khususnya pangan dan energi," tukasnya.
Namun itu semua tegas Mahfudz tidak bisa dicapai kalau pemerintahan saat ini tidak selesai-selesai melakukan konsolidasi di dalam negeri.
”Ibarat punya keluarga, bagaimana kita bisa menjadi ketua RT atau RW, kalau di rumah tangga sendiri antara ayah dan ibu berantem, ibu dengan anak marahan dan ribut terus,” katanya.
Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang kuat seperti Malaysia dengan Mahatir, Singapura dengan Lee Kwan Yew, Rusia dengan Putin, Turki dengan Erdogan dan lain-lain.
”Konsolidasi politik jadi syarat utama. Jadi omong kosong kita mau dapat capaian ekonomi dalam bingkai kerjasama dengan dunia luar kalau kondisi Indonesia masih seperti saat ini,” ujarnya.