Kekuasaan dan Godaan
Pemimpin politik harus memutuskan, dan dengan begitu ia akan dinilai.
Editor: Hasanudin Aco
Pandangan-pandangan tersebut saling melengkapi. Kekuasaan itu, meminjam Daniel Dhakidae (2015), "Begitu nyata, sekaligus juga begitu misterius". Dimensi kekuasaan mengaitkannya dengan kebijakan dan tanggung jawab sosial. Apakah kekuasaan itu tampak atau misterius, kalau sudah menyangkut kebijakan, urusannya publik dirugikan atau tidak baik jangka pendek atau panjang.
Amanat dan deliberasi
Moralitas kekuasaan selalu terkait tanggung jawab sosial. Para pejabat politik hakikatnya pelayan pemberi amanat rakyat. Mereka pelayan rakyat. Pemimpin politik harus peka dan tidak perlu menuding pengkritiknya sebagai membela "rakyat yang mana". Lebih baik justru menyikapi kritik apa pun secara bijak dan introspektif. Yang dikedepankan semestinya disiplin demokrasi deliberatif, mengingat deliberasi (permusyawaratan) dapat meningkatkan kualitas kebijakan publik.
Argumentasi itu disampaikan Held (2007) karena adanya pertukaran informasi dan wawasan, meningkatkan kemampuan pemahaman masalah. Selain itu, ia memetakan kepentingan pribadi atau kelompok sekaligus berorientasi kepentingan bersama, dan mengganti "bahasa kepentingan" dengan "bahasa rasionalitas".
Ketika pemimpin politik meninggalkan "nalar publik" dan sibuk berselancar pada urusan menyerempet-nyerempet bahaya (vivere pericoloso) konflik kepentingan, maka ibarat tupai: sepandai-pandai ia melompat, suatu saat akan gagal juga. Dan, nasihat Lincoln pun bisa kita tambah, "Godaan datang setiap saat, maka wahai 'pemegang kekuasaan', waspadalah."
M Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Kekuasaan dan Godaan".
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.