Pansus Harus Segera Lapor Polisi
Fuad meminta Panitia Khusus Pelindo II mengusut tuntas kasus yang terjadi di PT Pelindo II
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panitia Khusus (Pansus) Pelindo II DPR RI disarankan segera melaporkan kasus dugaan korupsi PT Pelindo II ke pihak kepolisian.
Pasalnya, dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan keterangan berbagai pihak seperti Menteri Perhubungan (Menhub), Ignasius Jonan dan Mantan Menhub, EE Mangindaan sudah mengindikansikan ada ketikaberesan yang terjadi di PT Pelindo II.
Mantan Menteri Keuangan pada era Orde Baru, Fuad Bawazier di Jakarta, Kamis (3/12/2015), mengatakan, kesalahan yang dilakukan PT Pelindo II sudah kelihatan banyak. Indikasi skandalnya kelihatan jelas.
Karena itu, Fuad meminta Panitia Khusus Pelindo II mengusut tuntas kasus yang terjadi di PT Pelindo II, termasuk di dalamnya konsesi perjanjian dengan Hutchison Port Holdings dalam pengelolaan anak perusahaan Pelindo II, PT JICT, di Tanjung Priok dan kemudian melaporkan ke polisi.
“Pansus harus segera menindaklanjuti dengan melaporkan ke polisi. Kesalahan sudah kelihatan banyak. Sangat banyak sekali. Misalnya, saham PT Pelindo dikatakan mayoritas, ternyata komposisi saham tidak berubah. Ini kebohongan publik,” katanya.
Anggota BPK, Achsanul Qosasih saat menyerahkan hasil audit ke pimpinan DPR RI mengakui, pihaknya menemukan sejumlah ketidakpatuhan terhadap aturan perundang-undangan dalam proses perpanjangan kontrak Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT) oleh Pelindo II dengan Hutchinson Port Holding (HPH).
"Ada beberapa ketidakpatuhan, yakni adanya JICT tidak menjadi badan usaha pelabuhan (BUP-red), dan beberapa poin lain termasuk ada pelanggaran-pelanggaran di perpanjangan itu. Termasuk di penandatanganan, perijinan Kementerian BUMN, semua ada," kata Achsanul, Rabu (2/12).
Sementara itu, Pansus Pelindo II DPR RI sudah mendapatkan sejumlah kepastian baru terkait proses perpanjangan kontrak JICT, setelah mendapat hasil audit BPK dan pandangan sejumlah pihak, terutama sesudah menggelar rapat dengan Menhub Ignasius Jonan dan Mantan Menhub EE. Mangindaan, di Jakarta, Rabu (2/12).
Dalam rapat itu, Menhub Jonan menyatakan, Direktur Utama Pelindo II RJ Lino sudah melakukan kebohongan ketika menyebut dirinya setuju perpanjangan kontrak JICT dengan HPH.
Pernyataan Jonan itu berawal dari pertanyaan anggota Pansus, Masinton Pasaribu yang mengklarifikasi pemberitaan di sebuah media massa nasional, yang menyebutkan bahwa seusai rapat dengan Jonan di bulan Agustus 2015, Lino menyatakan bahwa Menteri Jonan sudah sepakat dengan perpanjangan kontrak JICT.
"Ini benar atau tidak bahwa Menhub disebut sudah menyetujuinya?" Tanya Masinton.
"Tidak benar," tegas Jonan dalam rapat yang juga dihadirkan Kuasa Hukum Dewan Komisaris, Soemadipradja & Taher.
Di akhir rapat, Ketua Pansus Pelindo II DPR RI, Rieke Diah Pitaloka kemudian membacakan beberapa poin penting hasil rapat.
Pertama, Menteri Perhubungan RI, baik yang lama maupun yang baru, tidak pernah menerima dokumen bahwa ada amandemen perjanjian kontrak manajemen antara PT Pelindo II maupun Hutchinson Port Holding (HPH) yang terkait dengan JICT.
Kedua, semua pihak sepakat, berdasarkan Undang-Undang 17 Tahun 2008, bahwa segala perjanjian yang ada harus didahului konsesi antara pihak PT Pelindo II dengan Kementerian Perhubungan.
Ketiga, perjanjian konsesi antara Kementerian Perhubungan dan PT Pelindo II baru terjadi 11 November 2015.
Oleh karena itu, semua amandemen perjanjian yang terjadi antara PT Pelindo II dengan JICT maupun HPH merupakan bukti ketidaktaatan, pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008.
"Konsesi yang terjadi tanggal 11 November 2015 tidak berlaku retroaktif," tegas Rieke.
Keempat, dengan tidak ditandatanganinya konsesi oleh PT Pelindo II pada tahun 2011, terjadi kerugian negara akibat negara tidak menerima PNBP sejak 2012.
Selanjutnya, mengenai Circular Resolution of Shareholders, yang terkait kontrak final pengelolaan JICT 7 Juli 2015, pihak Kementerian Perhubungan RI, dalam hal ini ahli hukum, menegaskan bahwa terjadi pembuktian dengan dokumen hukum tersebut, bahwa saham dari PT. PELINDO II tetap menjadi minoritas (48,9%, Kopegmar 0,10%) dan HPH tetap mayoritas (51%).
Sementara pihak Soemadipradja & Taher menegaskan bahwa sesuai dengan Perpres Nomor 39/2014, saham pihak asing dalam PMA tidak boleh melebihi dari 49%.
"Dengan demikian, dengan adanya bukti hukum tersebut, Soemadipradja & Taher justru menyarankan agar ada sanksi dari BKPM kepada PT Pelindo II."
Sesuai dengan UU 17 Tahun 2008 dan PP 61 Tahun 2009, bahwa konsesi yang diberikan oleh otoritas pelabuhan tidak boleh dipindahtangankan ke pihak ketiga. Artinya, hak pengelolaan tidak boleh dipindahtangankan ke pihak ketiga.
"Kerja sama dengan pihak lain yang dilakukan pihak kedua dalam konteks business to business pun harus mendapatkan rekomendasi dari otoritas pelabuhan."
Selanjutnya, konsesi sebagaimana di maksud Pasal 92 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah merupakan alas hak bagi Badan Usaha Kepelabuhanan untuk melakukan kegiatan.
"Jadi perjanjian antara PT. Pelindo II dengan HPH adalah perbuatan tanpa hak atau melawan hak sehingga tidak sah sebagaimana disampaikan oleh Menteri Perhubungan RI," kata Rieke.
Semua kesimpulan itu disampaikan di bawah sumpah dan ditandatangani semua pihak yang hadir di rapat Pansus tersebut.