Hari Ini KPK Jawab Gugatan Praperadilan RJ Lino
Selasa (19/1/2016), hakim tunggal Udjiati mengagendakan persidangan untuk mendengarkan jawaban dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku termohon
Penulis: Valdy Arief
Editor: Gusti Sawabi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Sidang lanjutan praperadilan permohonan mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino kembali berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Pada hari ini, Selasa (19/1/2016), hakim tunggal Udjiati mengagendakan persidangan untuk mendengarkan jawaban dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku termohon.
"Besok (19/1), sidang dijadwalkan untuk mendengar jawaban dari termohon," kata hakim Udjiati di Ruang Sidang Utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/1/2016).
Pihak Biro Hukum KPK yang ditemui usai sidang perdana menyatakan hendak menjawab semua pernyataan menyudutkan dari kuasa hukum RJ Lino, Maqdir Ismail pada hari ini.
"Penjelasan akan kami sampaikan besok pagi," kata Kepala Biro Hukum KPK, Setiadi usai persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/1/2016).
Pada sidang perdana praperadilan yang beragenda pembacaan permohonan, pengacara Lino memberikan pernyataan menyudutkan KPK.
Seperti penetapan tersangka Lino, yang disebut tidak sesuai prosedur karena belum adanya bukti permulaan berupa jumlah kerugian negara.
Selain itu, Maqdir juga menyebutkan kliennya belum pernah diperiksa sebagai calon tersangka tapi sudah ditetapkan sebagai tersangka.
"Hal itu tidak sesuai dengan KUHAP," kata Maqdir dalam persidangan.
Sebelumnya, RJ Lino mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangkanya pada Senin (28/12/2015), melalui pengacaranya Maqdir Ismail.
Permohonan tersebut dilayangkan setelah mantan Bos PT Pelindo II, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (18/11/2016) silam.
KPK menilai ada tindak pidana korupsi dalam pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II pada 2010.
Lino yang memimpin PT Pelindo II saat itu, diduga melakukan penyalahgunaan wewenang karena menujuk langsung perusahaan asal Tiongkok, Huang Dong Heavy Machinery Co, tanpa mekanisme lelang.