Hidayat Nur Wahid: Banyak yang Salah Kaprah Memaknai Kebebasan
Konstitusi negara Indonesia memberikan kebebasan berekspresi dan berpendapat serta berserikat, namun ada batasan yang ditetapkan perundangan
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid memberikan materi Empat Pilar MPR RI (Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) dalam acara sosialisasi kepada Ikatan Da'i Indonesia (Ikadi) di aula Asrama Haji Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (13/2/2016).
Dalam paparannya, Hidayat membicarakan soal implementasi UUD Bab XA tentang Hak Asasi Manusia ( HAM ). Menurut Hidayat, saat ini banyak yang salah kaprah dan kebablasan soal implementasi Hak Asasi Manusia dalam hal ini soal kebebasan berpendapat dan berserikat.
"Kebebasan diartikan sangat bebas sebebas-bebasnya seperti banyak yang menuntut soal pernikahan lintas agama, kebebasan pernikahan sejenis sampai menginterpretasikan agama seenak-enaknya dengan berlindung atas nama kebebasan berpendapat contohnya muncul fenomena Gafatar bahkan sampai ada yang mengaku Nabi serta aksi-aksi radikalisme," kata Hidayat.
Padahal, menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, kebebasan dibenarkan namun dengan batasan seperti yang tercantum dalam Pasal 28 J yang berbunyi 'Berkewajiban menghargai hak asasi orang lain serta tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan UU'.
"Sudah jelas konstitusi negara Indonesia memberikan kebebasan berekspresi dan berpendapat serta berserikat, namun ada batasan yang ditetapkan perundangan. Jika tidak dibatasi, maka akan sangat kebablasan. Setiap orang bebas mendirikan organisasi negatif misalnya perkumpulan maling, teroris. Pembatasan ada untuk menghormati hak orang lain juga," paparnya.
Dalam kesempatan teersebut, Hidayat juga membahas mengenai arah pembangunan nasional. Indonesia saatnya membutuhkan semacam haluan atau panduan negara seperti GBHN agar arah pembangunan Indonesia menjadi terencana, dan terarah baik.
"Kenapa sangat perlu sebuah haluan negara, sebab selama ini arah pembangunan nasional sesuai dengan visi dan misi Presiden. Padahal sesuai konstitusi, Presiden hanya menjabat selama dua periode yakni hanya selama 10 tahun maksimal. Indonesia negara yang sangat besar mustahil arah pembangunannya jangka pendek hanya 10 tahun," ujarnya.
"Jika Presiden berganti, tidak ada jaminan Presiden selanjutnya akan melanjutkan program Presiden sebelumnya. Kalau itu terjadi maka Indonesia hanya seperti menari poco-poco, bergerak maju mundur samping kanan dan kiri berputar-putar saja," tambahnya.
Untuk memunculkan GBHN yang merupakan produk MPR, lanjut Hidayat, maka harus melalui satu pintu yakni amandemen kembali UUD 1945 yang saat ini tinggal menunggu pengajauan dari 1/3 anggota MPR RI agar itu terwujud.
Acara sosialisasi empat pilar ini sendiri dalam rangkaian kegiatan acara Musyawarah Nasional ke-2 Ikadi yang diselenggatakan marathon dari tanggal 12-13 Februari 2016 ditempat yang sama. Acara ini juga turut dihadiri oleh Menteri Agama dan perwakilan Panglima TNI.