Potret Perempuan Jawa Era Kolonialisme Ternyata Tak seperti Kita Bayangkan
Selama ini, kita lebih banyak disuguhi gambaran mengenai perempuan Jawa di era kolonialisme yang lemah lembut, tak berdaya
Tanggal 21 Agustus 1904, ia tidak pergi bekerja. Ia terkejut karena tiba-tiba polisi datang dan menangkapnya. Ternyata mBok Partawigena telah dilaporkan oleh Nyonyah bereh karena dianggap melanggar kontrak kerja yang sudah ditandatangani.
mBok Partawigena merasa marah dan tidak terima dengan perlakukan itu. Dia diinterogasi dan diminta untuk membuat berita acara.
mBok Partawigena merasa telah bekerja keras sebagai buruh batik. Dalam berita acara, ia menceritakan bahwa harus bekerja dari Pkl 07.00-17.00 atau lebih dari itu. Selama bekerja, ia juga harus membawa bekal sendiri karena Nyonyah Bereh tidak menyediakan makanan bagi pekerjanya.
Ia bahkan harus bekerja setiap hari tanpa hari libur. Ia hanya diijinkan tidak masuk kerja saat melahirkan, menikah atau sakit. Sayangnya tidak mudah untuk mendapatkan izin tersebut. Ia harus mendapatkan izin dari Lurah Panyeratan atau Mandor Batik dan Nyonyah Bereh terlebih dahulu. Jika tidak mendapatkan ijin, maka Mandor akan melaporkan ke Nyonyah Bereh dan akan mengirim seseorang untuk menjemput buruh batik.
Pada awal abad 20, perempuan Jawa juga rentan terhadap kekerasan seksual. Seperti yang di alami dalam kasus Mbok Jayawigena.
Ia diperkosa oleh seorang yang bernama Prawidirana saat suaminya tidak berada di rumah. Prawidirana berpura-pura meminta rokok dan memaksa masuk kedalam rumah. Merasa tidak ada yang salah dengan tingkah laku Prawidirana, mBok Jayawigena memutuskan kembali tidur. Ia tidak menyangka jika Prawidirana akan masuk ke kamar tidurnya.
Kejadian itu segera dilaporkan ke polisi dan ditindaklanjuti dengan memanggil beberapa saksi yang terkait dengan insiden tersebut.
Kasus-kasus hukum yang terjadi di era kolonial inilah menjadi gambaran keberanian para perempuan.
"Sudah ada hukum yang baik dan tidak berbelit. Ini yang membuat mereka tidak merasa takut untuk mendatangi dan mengadukan perkaranya," tambah Galuh.
Refleksi masa lalu ini bisa menjadi pembelajaran bagi perempuan modern bagaimana menyikapi ketidakadilan dalam kehidupan mereka.