Jimly Setuju Penguatan DPD RI dan Penambahan Utusan Golongan
Penguatan kewenangan DPD RI secara kelembagaan terus mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penguatan kewenangan DPD RI secara kelembagaan terus mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak. Kali ini dukungan moril datang dari Pakar Hukum Tata Negara Prof Jimly Asshiddiqie.
Dalam diskusi dengan sejumlah anggota DPD RI yang tergabung dalam Gerakan Nasional (Gernas) Penguatan DPD RI di Hotel Sultan Jakarta, Selasa (30/8/2016) malam, Jimly menegaskan bahwa sekarang momentum yang tepat untuk penguatan kewenangan DPD RI.
"Sekarang momentum yang tepat penguatan DPD RI. Hampir 12 tahun DPD RI berdiri dan kita bisa evaluasi keberadannya namun ada masalah pada kewenangannya yang tidak jelas. Memilih anggota (DPD RI) mahal sekali, mereka (anggota DPD RI) orang terpilih, orang-orang hebat dari setiap provinsi dan untuk menjadi anggota DPD jauh lebih sulit dari anggota DPR RI serta dukungan kepada DPD RI lebih banyak pada Pemilu. Jadi tidak fair membiarkan DPD RI seperti sekarang ini," tutur Jimly.
Diskusi dihadiri Koordinator Gernas Penguatan DPD RI Muh. Asri Anas (DPD RI dari Sulbar) serta sejumlah anggota DPD RI seperti Anggota DPD RI dari Sumut Prof. Dr. Darmayanti Lubis, Nurmawati D. Bantilan (DPD RI Sulteng), Syafrudin Atasoge (DPD RI dari NTT), Ahmad Kanedi (DPD RI dari Bengkulu), Eni Sumarni (DPD RI dari Jawa Barat), Novita Anakota (DPD RI dari Maluku), Denty Eka Widi Pratiwi (DPD RI dari Jateng), Anna Latuconsina (DPD RI Maluku) dan Aji Muhammad Mirza Wardana (DPD RI dari Kaltim) serta para staf ahli DPD RI.
Jimly optimis penguatan DPD RI akan mendapat dukungan luas dari publik. "Sekarang DPR punya banyak masalah. Ada joke (lelucon) lebih baik DPD dibubarkan atau diperkuat. Ini pernyataan memancing tetapi tidak tepat DPD dibubarkan sebab sistem negara kita sangat kompleks luas wilayah besar, dengan penduduk banyak beragam maka kita butuh double representase keterwakilan ganda melalui DPR yakni partai politik dan sistem teritorial kedaerahan DPD," kata Jimly.
Menurut Jimly, dulu waktu MPR Orde Baru ada anggota parlemen dari utusan golongan untuk mengakomodir kalangan minoritas. Jika amandemen UUD 45 tentang penguatan DPD RI dilaksanakan maka tak ada salahnya, kata Jimly, memasukkan kembali Utusan Golongan ke dalam MPR RI atau bergabung dengan DPD RI. "Soal Utusan Golongan mau diadakan saya kira bagus saja," kata Jimly.
Namun Jimly mengingatkan bahwa ada perbedaan Utusan Golongan dulu dan saat ini. Bedanya dulu Utusan Golongan langsung ditunjuk Presiden namun nantinya jika disetujui maka Utusan Golongan yang menjadi anggota Parlemen RI berasal dari kelompok masyarakat atau Ormas kaum minoritas.
"Mekanisme pemilihan Utusan Golongan dilakukan di komunitas masing-masing misalnya utusan buruh terlebih dahulu melakukan konvensi di organisasinya untuk memilih siapa wakil buruh. Organisasi petani, nelayan, pers, dokter dan sebagainya bisa punya utusan golongan dan dipertimbangkan pula TNI dan Polri (ada utusan golongan) karena mereka tidak ada hak pilih dan memilih (di Pemilu)," ujar Jimly.
Menurut Jimly, Utusan Golongan ini bisa dibahas dalam rangka penguatan kewenangan DPD RI dalam amandemen UUD 45.
Jika saat ini anggota DPD RI ada 4 orang dari setiap provinsi maka bisa jadi anggota DPD bertambah menjadi lima orang dari utusan golongan. "Atau anggota DPD tiga orang ditambah satu utusan golongan," kata Jimly.