PPATK: Australia Paling Banyak Pasok Dana untuk Kegiatan Terorisme di Indonesia, Menyusul Brunei
"Negara yang pernah kirim dana ke Indonesia paling banyak dari Australia," kata Yusuf.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut sejumlah negara yang diduga menjadi sumber pendanaan jaringan terorisme di Indonesia.
Kepala PPATK Muhammad Yusuf memaparkannya saat rapat dengan Pansus RUU Antiterorisme di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (8/9/2016).
Dikawasan Timur Tengah tercatat Irak, Lebanon dan Turki.
Sementara kawasan Asia terdapat Australia, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan dan Thailand menjadi sumber pendanaan yang masuk ke Indonesia.
"Negara yang pernah kirim dana ke Indonesia paling banyak dari Australia," kata Yusuf.
Berdasarkan data PPATK, Australia menduduki peringkat pertama negara yang menjadi penyumbang dana terbesar untuk jaringan teroris dan foreign terorisme fighter yang ada di Indonesia dengan jumlah mencapai Rp 88,5 miliar.
Jumlah tersebut berasal dari 97 kali transaksi melalui berbagai cara, baik perseorangan maupun kelompok.
Untuk perseorangan, salah satu caranya adalah dengan menyewa orang.
Instrumen yang dilakukan biasanya menggunakan paypal atau bitcoin yang merupakan sistem pembayaran virtual.
Adapula, cara menikahi wanita warga negara Indonesia untuk diminta membuka rekening khusus guna menerima alokasi dana dugaan terorisme.
Sementara untuk kelompok, Yusuf mengungkapkan Yayasan biasanya dijadikan modus pendanaan jaringan terorisme.
"Saya tidak sebut nama yayasan. Beberapa yayasan juga biayakan mereka yang berangkat ke daerah teroris di luar negeri atau yang dikenal sebagai foreign terorisme fighter (FTF)," ujarnya.
Yusuf mengungkapkan Brunei Darussalam menduduki peringkat kedua dengan nominal mencapai Rp 2,6 miliar yang disusul dengan Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan dan Thailand.
Selain itu Yusuf juga menyebutkan Indonesia juga turut menjadi negara yang mendanai jaringan terorisme ke beberapa negara lain, seperti ke Hongkong sebesar Rp31,2 miliar, Indonesia mengirim ke Filipina sebesar Rp 229 miliar dan ke Australia Rp 5,3 miliar.
Yusuf meminta agar Pansus RUU Antiterorisme memperhatikan mekanisme yang mengatur aliran dana untuk hal-hal tersebut dalam menyusun draf bersama pemerintah.
Pasalnya, salah satu motif utama orang terlibat aksi teroris adalah uang, disamping motif ideologi.
"Dalam UU belum ada pasal penundaan transaksi. Ini bertujuan agar penyidik dapat melakukan pencegahan perpindahan uang hasil tindak pidana terorisme," katanya.
Yusuf pun mengusulkan agar draft RUU Antiterorisme yang sedang dibahas DPR mengatur pemblokiran rekening bila menemukan dugaan aliran untuk aksi terorisme.
"Kalau ada orang luar negeri bisnis ke Indonesia misal terkait bahan-bahan nuklir maka perlu dilakukan pembukuannya oleh negara. Ini penting karena nuklir sendiri jadi ancaman dunia," imbuhnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.