Bareskrim Beberkan Alur Penyelundupan Amonium Nitrat
Dipaparkan Agung, kasus ini terungkap berkat koordinasi Bareskrim dengan pihak Bea Cukai.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Agung Setya merilis dua tersangka kasus penyelundupan amonium nitrat (NH4NO3) di 11 kontainer.
Amonium nitrat ini dapat menghancurkan terumbu karang karena merupakan bahan untuk membuat bom ikan.
"Ada dua tersangka, satu inisial Y ditangkap di Batam dan satu tersangka T ditangkap di Muna (Sulawesi Tenggara). Keduanya ditangkap pada 9 September 2016," ujar Agung, Jumat (15/9/2016).
Dipaparkan Agung, kasus ini terungkap berkat koordinasi Bareskrim dengan pihak Bea Cukai.
Dimana awalnya jajaran Bea Cukai menemukan ada tiga kapal yang diduga berisi amonium nitrat.
Ketiga kapal yang ditangkap tersebut yakni Kapal Harapan Kita pada tanggal 16 April 2016, Kapal Ridho Ilahi pada 29 Juli, dan Kapal Ikma Jaya pada 29 Agustus.
"Tiga kapal itu ditangkap di wilayah Kepulauan Natuna. Ketiga kapal berikut muatannya, amonium nitrat disita karena tidak membawa dokumen pengangkutan," ujar Agung.
Merespon itu, Polri melakukan penyelidikan mendalam dan didapatkan ada sindikatnya di Batam, Kepulauan Riau. Sementara mereka mengambil amonium nitrat di Pelabuhan Pasir, Malaysia.
"Kedua tersangka berperan menentukan kapal pengangkut, waktu pengangkutan dan rute perjalanan laut. Termasuk mereka juga berperan menerima pesanan amonium nitrat dari pelanggan dan mengambil pesanan di Malaysia," tegasnya.
Masih menurut Agung, sindikat ini bekerja berdasarkan pesanan. Usai mengambil barang pesanan di Malaysia, kapal akan menempuh jalur Laut Cina Selatan, menuju Laut Jawa, Kangean (Madura), Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Flores (Nusa Tenggara Timur), Jeneponto (Sulsel), Pangkep (Sulsel), Bonarate (Sulsel) dan Baubau (Sultra).
Selanjutnya kapal singgah di titik-titik yang dilalui untuk mengantarkan pesanan kepada konsumen. Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman maksimal hukuman mati atau hukuman seumur hidup atau minimal 20 tahun penjara.