Mengaku Didiskriminasi, Wanita Mantan Aktivis Gafatar Ini Mengadu ke Komnas Perempuan
"Cukup saya saja yang mengalami, jangan sampai terulang. Kami dipulangkan ke Indramayu."
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- "Satu pekan saya mengalami pendarahan sehingga mengalami, keguguran," tutur Suratmi, wanita eks aktivis Gerakan Fajar Nusantara Gafatar (Gafatar), saat menyambangi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Jalan Latuharhari, Jakarta, Jumat (16/9/2016).
Suratmi bersama empat perempuan lainnya mengadu ke Komnas Perempuan atas diskriminasi yang dirasakan.
Setelah pengusiran anggota Gafatar dari Mempawah, Kalimantan Barat awal Januari 2016 lalu, dirinya berusaha mencari tempat hidup baru.
Suratmi bersama keluarganya pernah tinggal di penampungan di kota Pontianak.
Meskipun saat itu kondisinya sedang hamil, hanya sarden dan mie instan yang dapat dimakan selama tinggal di tempat ini.
Dirinya harus berjuang melewati perjalan yang penuh sesak di kapal laut lantaran semua anggota Gafatar akan dipulangkan ke kampungnya masing-masing.
Perjalanan yang melelahkan itu harus dinikmati hingga akhirnya tiba di Jakarta.
Di Jakarta, eks Gafatar diungsikan ke asrama Haji Pondok Gede. Di sinilah Suratmi merasa kondisi fisik dan kandungannya kian menurun, hingga akhirnya terjadi pendarahan dan keguguran. Saat itu sempat ada penanganan.
Surtami mengaku sempat akan dibawa ke rumah sakit, namun tidak jadi lantaran akan segera dipindah ke Cimahi, Jawa Barat, bersama eks Gafatar lainnya.
Di Cimahi pun tak ada perlakuan yang berbeda. Pelayanan dari Kementerian Sosial tak dia dapatkan.
Bahkan, setelah dirinya kembali tinggal di kampung halaman di Mekarjati, Kecamatan Haurgeulis, Indramayu, perlakuan diskriminatif tetap dialami.
Kepala desa tak mengizinkan keluarganya tinggal di Mekarjati.
"Cukup saya saja yang mengalami, jangan sampai terulang. Kami dipulangkan ke Indramayu. Saya diberikan pilihan oleh kepala desa diberikan dana kontrakan asal keluar dari desa itu. Saya terima karena tak punya dana," tutur dia.
"Banyak saudara kami yang mengalami, saya hanya mewakili. Ke depannya saya minta hak saudara kami bisa dikembalikan seperti semua anak kami. Tadinya kami dibilang aliran sesat, kami ingin seperti yang lain, kami warga negara yang baik," tambah Suratmi.
Hal serupa juga dialami Eri Idayana. Perempuan eks Gafatar asal Subang ini pernah diusir setelah tinggal selama 27 hari di rumah kontrakan Cibogo, Subang.
"Kami diberikan kontrakan 1 bulan, baru 27 hari sudah diusir. Padahal kontrakannya tak layak, bocor, airnya kembali ke sumur. Tapi karena kondisi lemah, sudah diusir, pindah lagi cari kontrakan," kata dia.
Di tempat yang baru, di desa berbeda yang letaknya tak jauh dari rumah kontrakan sebelumnya, kata Eri, penolakan warga juga sangat terasa.
"Kami tiga hari hingga tiga minggu mau didemo, alhamdulillah yang punya kontrakan membela karena sudah kontrak setahun. Kami cari murah dan biaya tak punya, karena tak layak anak saya sakit. Sempat dirawat karena gejala typus," kata dia. N
amun setelah enam bulan kemudian, kata Eri, pemilik kontrakan justru menjual rumah yang sedang ditempati ini kepada orang lain.
"Saya tanyakan, ini saya ngontrak kenapa dijual. Kalau dijual ya silakan, tapi tunggu kami keluar," kata dia.
Maka dari itu, lanjut Eri, bersama empat perempuan eks Gafatar lainnya ini diharapkan ada bantuan guna menggugah pemerintah, khususnya di daerah, untuk bisa bersikap adil kepada eks Gafatar.
"Kami ini bawa hak sendiri, ingin punya hidup lebih baik. Ini program pemerintah untuk pulangkan kami, tapi kenapa kami ditelantarkan," kata dia.
Penulis: Fachri Fachrudin
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.