Kaleng Susu dan Satu Meter Jadi Istilah Putu Sudiartana Bicara Uang Suap
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, kembali menggelar sidang dengan terdakwa politikus Partai Demokrat I Putu Sudiartana.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, kembali menggelar sidang dengan terdakwa politikus Partai Demokrat I Putu Sudiartana, Senin (28/11/2016).
Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasn Korupsi (JPU KPK) menghadirkan Suhemi, orang kepercayaan anggota Komisi III DPR RI tersebut.
Suhemi mengatakan bahwa Putu memerintahkan agar saat membicarakan uang menggunakan kata ganti untuk menyamarkan.
"Pak Putu minta, kalau bicara uang jangan vulgar. Pakai istilah saja," kata Suhemi, saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/11/2016).
Menurutnya, pernah suatu hari pada Juni 2016 di sebuah kafe di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, Putu bertemu pengusaha Yogan Askan dan Kadis Prasarana Jalan Provinsi Sumatera Barat Suprapto.
Pertemuan membahas permintaan Yogan dan Suprapto agar Putu dapat meloloskan anggaran dana alokasi khusus untuk Provinsi Sumatera Barat.
Imbalannya, Putu minta duit Rp 1 miliar.
Putu menggunakan istilah 1 meter untuk mengganti kata Rp 1 miliar.
Pernah juga Putu menanyakan komitmen pengusaha dan pejabat di Dinas Prasarana Jalan Sumbar terkait imbalan yang diminta dengan istilah 'masakan Padang'.
"Masakan Padang itu maksudnya menanyakan bagaimana soal pengurusan anggaran di Padang," kata Suhemi.
Tak cuma Suhemi, istilah uang juga harus disamarkan oleh staf Putu bernama Novianti dan staf ahli Komisi III DPR yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan.
Saat penyerahan uang, menurut Novi, ia diberi tahu untuk menerima 500 kaleng susu.
Kaleng susu yang dimaksud adalah uang sebesar Rp500 juta.
"Saya tahu itu pasti berhubungan dengan uang Rp 500 juta. Saya tahu setelah diberi tahu pak Putu," kata Novianti.
Diketahui, politikus Partai Demokrat itu didakwa menerima suap Rp500 juta dari pengusaha dan Kepala Dinas Prasarana Jalan Provinsi Sumatera Barat.
Suap itu terkait pengusahaan dana alokasi khusus kegiatan sarana dan prasarana penunjang Provinsi Sumbar pada APBN-P 2016.