Fenomena Klakson Telolet: Mulai Harga Rp 1,5 Juta hingga Terinspirasi dari Arab Saudi
Harga klakson telolet dari fenomena 'Om Telolet Om' yang ramai jadi perbincangan publik belakangan ini ternyata mencapai Rp 1.500.000.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga klakson telolet dari fenomena 'Om Telolet Om' yang ramai jadi perbincangan publik belakangan ini ternyata mencapai Rp 1.500.000.
"Namanya klakson telolet, harganya mulai dari Rp 700 ribu sampai Rp 1,5 juta," ujar Harwin (37) sopir bus AKAP jurusan Jakarta-Kuningan saat ditemui di terminal Pulogadung.
Menurut pria yang sudah 20 tahun menjadi sopir ini, klakson tersebut biasanya digunakan oleh sopir-sopir yang iseng memasang 'telolet' sebagai klakson cadangan.
"Yang pakai klakson itu sopir yang iseng saja buat klakson cadangan. Kena razia sama dishub, mesti dicopot karena suaranya yang kegedean," ujarnya.
Mengenai fenomena ini, dirinya pun merasa keheranan lantaran orang-orang mulai dari anak kecil hingga orang dewasa di jalanan minta 'telolet'.
"20 tahun jadi sopir baru ada yang kaya gini, lucu saja dari anak bocah sampai orang dewasa bilang om telolet om di jalanan, yang naik motor juga suka ada yang minta," ujarnya sambil tertawa.
Biasanya permintaan orang-orang ini terjadi di siang hari pada jalur Pantura dan pinggir tol Bekasi ketika sedang terjadi kemacetan. "Sepanjang Pantura banyak yang minta, sampai bikin spanduk. Di tol Bekasi pas lagi macet banyak yang minta telolet," paparnya yang biasa membawa bus selama lima jam dari Jakarta ke Kuningan.
Zaenal Arifin dari Bismania Community mengatakan bahwa bunyi klakson telolet sudah mulai terdengar satu dekade lalu.
Klakson itu tidak spesifik dimiliki oleh jenis bus tertentu, melainkan hasil modifikasi yang dilakukan perusahan otobus (PO).
"Awalnya tiga corong, kemudian ada yang empat corong (lubang suara angin), bahkan ada yang enam lubang yang kemudian bunyinya dimodifikasi sesuai kreativitas. Konsepnya seperti nada dering monophonic ponsel, lagu-lagunya ondel-ondel, lagunya 'Jablay' Titi Kamal."ujarnya.
Dia mengklaim bahwa kebiasaan meminta klakson itu dimulai dari kebiasaan para penggemar bus yang sering memotret bus. "Sebagai balasan, sopir bis biasanya kasih dim atau kasih klakson,"ujarnya.
Adalah perusahaan otobus Efisiensi yang pertama mempopulerkan klakson telolet tersebut, kata Zaenal. Manajer Komersil PO Efisiensi Syukron Wahyudi menceritakan bahwa sekitar 10 tahun lalu pemiliknya, Teuku Eri Rubiansah, pergi ke Arab Saudi dan mendengar bunyi klakson yang unik.
"Mendengar suara klakson di sana berbeda, dia memutuskan membeli untuk bisnya. Khususnya di bus reguler dari Cilacap Jogja, Purwokerto - Jogja, dan Purbalingga - Jogja."katanya.
Tapi awalnya klakson ini ternyata malah direspons negatif karena suaranya yang dinilai terlalu keras. Sampai-sampai, pihak PO meminta sopir-sopir mereka tidak membunyikan klakson itu di tempat-tempat tertentu karena masyarakat tidak terima dengan bunyi itu, cerita Syukron.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.