Terkait Suap Pejabat Bakamla, KPK Kaji Peradilan Koneksitas Dengan Puspom TNI
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Polisi Militer TNI sedang berkoordinasi guna menjajaki kemungkinan dibentuknya peradilan koneksitas.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Polisi Militer TNI sedang berkoordinasi guna menjajaki kemungkinan dibentuknya peradilan koneksitas.
Koordinasi dilakukan terkait penyidikan dugaan suap pengadaan satelit monitoring Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun anggaran 2016.
Peradilan koneksitas tersebut lantaran selain sipil, diduga kuat ada ada keterlibatan dari unsur militer.
"Kita sedang berkoordinasi dengan teman-teman TNI. Apakah ada koneksitas kita diskusikan," kata Ketua KPK Agus Rahardjo, di kantornya, Jakarta, Selasa (27/12/2016).
Agus Rahardjo mengungkapkan peradilan koneksitas tersebut juga akan dibicarakan dalam pertemuan internal KPK yang dilanjutkan pada pekan pertama tahun 2017.
"Pimpinan akan mengeluarkan kebijakan umum yang harus diikuti teman-teman di pencegahan, penindakan mapupun di kedeputian yang lain," kata dia.
Sebelumnya, Komandan Puspom TNI Mayor Jenderal Dodik Wijanarko telah menyambangi KPK.
Kedatangan Dodik tersebut untuk bertukar informasi dengan KPK terkait dugaan keterlibatan oknum TNI.
"Koordinasi tadi bersifat salah satunya pertukaran informasi
pertukaran informasi dilakukan tentu saja terkait dengan penyidikan," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, 23 Desember 2016.
"Nah apakah nama-nama juga diserahkan atau hal-hal teknis lainnya memang belum update soal itu," tambahnya.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo membenarkan jika Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan proyek tersebut adalah dari unsur TNI.
PPK tersebut adalah perwira tinggi TNI Angkatan Laut yang berpangkat laksamana pertama atau bintang satu.
Dalam kasus tersebut, KPK menetapkan empat tersangka.
Tiga tersangka dari unsur swasta adalah Direktur PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah, dua pegawai PT Melati Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus.
Sementara tersangka dari unsur Bakamla adalah Eko Susilo Hadi. Eko berasal dari unsur Kejaksaan.
Edi Susilo dijanjikan 7,5 persen dari nilai proyek Rp 200 miilar atau sekitar Rp 15 miiar.
Edi Susilo adalah Kuasa Pengguna Anggaran.