Imparsial Minta Pembahasan RUU Terorisme Dilakukan Secara Terbuka
Direktur Imparsial, Al Araf menyebut masyarakat seharusnya memiliki akses untuk memantau jalannya pembahasan RUU Terorisme.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tidak seharusnya Panitia Khusus (Pansus) Gabungan Komsisi I dan III DPR RI melakukan pembahasan perubahan Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara tertutup.
Direktur Imparsial, Al Araf menyebut masyarakat seharusnya memiliki akses untuk memantau jalannya pembahasan.
Dalam pemaparannya di kantor Imparsial, Jakata Selatan, Selasa (24/1/2017), ia mengatakan bahwa pada pasal 5 huruf G Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentungan peraturan perundang-undangan, diatur bahwa proses tersebut harus menjunjung asas keterbukaan.
Baca: Wiranto Minta DPR Segera Sahkan RUU Terorisme
Sehasunya semangat yang sama dilakukan terhadap pembahasan undang-undang terorisme.
"Agar seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan," kata Al Araf.
Selain bertentangan dengan undang-undang, proses pembahasan tersebut harus terbuka mengingat aturan tersebut sangat rawan disalahgunakan.
Selain itu rancangan undang-undang yang mereka bahas, diketahui ada sejumlah pasal yang tidak seharusnya ada.
Baca: Panglima TNI: UU Terorisme Saat Ini Jadi Tempat Paling Aman Bagi Teroris
Ia mencontohkan dengan pelibatan militer aktif, padahal militer terhitung sebagai nonjudicial dalam sistem hukum untuk menangani terorisme.
Selain pelibatan militer, penambahan aturan soal ujaran kebencian juga merupakan suatu hal yang harus dikhawatirkan.
Pasalnya, soal ujaran kebencian itu tidak dijelaskan secara detail, sehingga memungkinkan penyalahgunaan.
"Negara memang perlu mengatur persoalan penebar kebencian, namun demikian pengaturan itu harus dibuat secara benar dan komprehensif, dan tidak boleh dibuat dengan rumusan pasal karet," ujarnya.
Yang juga harus menjadi sorotan dalam aturan pemberantasan terorisme yang baru, adalah soal deradikalisasi.
Rencananya aturan tambahan soal menempatkan seseorang dalam waktu enam bulan untuk tujuan deradikalisasi, akan dimasukan dalam aturan pemberantasan terorisme.
Hal itu menurut Al Araf adalah bentuk lain dari penangkapan secara sewenang-wenang.
"Pengaturan ini sangat berpotensi mengancam hak asasi manusia, dan sangat berbahaya jika diberlakukan," katanya.
Oleh karena itu menurutnya pembahasan Undang Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, harus dilakukan secara terbuka. Selain itu pasal-pasal yang berpotensi merugikan masyarakat harus dihilangkan," katanya.